ULAMA YANG SELAMAT TIDAK AKAN MENJUAL AKIDAH DEMI POPULARITAS



ULAMA YANG SELAMAT TIDAK AKAN MENJUAL AKIDAH DEMI POPULARITAS

Kajian Ilmiah – Buletin Dakwah Kontemporer


Pendahuluan

Di tengah derasnya arus informasi, algoritma media sosial, dan budaya “like–share–follow”, sebagian tokoh agama menghadapi godaan besar: mengurangi ketegasan akidah, melembutkan larangan syariat, atau memoles kebenaran agar sesuai dengan selera publik. Fenomena ini dalam literatur klasik disebut bay‘ ad-dīnmenjual agama demi keuntungan dunia.

Problem ini menjadi sangat relevan karena popularitas kini dapat menjadi komoditas yang menggiurkan: undangan ceramah, reputasi, jabatan, atau kapital politik. Naskah ini memaparkan dalil, analisis ulama klasik dan kontemporer, serta implikasi etik dan keilmuan, untuk menegaskan bahwa ulama yang selamat adalah mereka yang menolak menjual akidah demi popularitas.


1. Landasan Qur’ani: Larangan Menukar Kebenaran dengan Dunia

1.1. Larangan Menjual Ayat Allah

﴿ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ﴾

“Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”
(QS. Al-Baqarah 2:41)

Ayat ini turun sebagai kecaman atas perilaku ulama-ulama Yahudi yang menyembunyikan kebenaran Taurat demi mempertahankan posisi sosial mereka. Para mufassir seperti Ibn Katsir menyatakan bahwa makna tsamanan qalīlan mencakup setiap bentuk keuntungan dunia — harta, kedudukan, dan pengaruh — yang diperoleh dengan mengorbankan kebenaran syariat.[^1]


1.2. Larangan Menukar Janji Allah dengan Dunia

﴿ وَلَا تَشْتَرُوا عَهْدَ اللَّهِ بِثَمَنٍ قَلِيلٍ ﴾

“Dan janganlah kalian menukar perjanjian Allah dengan harga yang murah.”
(QS. An-Nahl 16:95)

Menurut Al-Qurthubi, ‘ahd Allāh adalah kewajiban ulama: menjaga agama, tidak memalsukan fatwa, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menyembunyikan dalil yang benar. Menukarnya dengan popularitas adalah bentuk ghadr (pengkhianatan) terhadap amanah ilmu.[^2]


1.3. Karakter Ahlul Kitab yang Dicela: Menjual Agama

﴿ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ﴾

“Dan mereka memperjualbelikan (ayat Allah) dengan harga yang sedikit.”
(QS. Āli ‘Imrān 3:199)

Ayat-ayat ini memberi pelajaran universal: siapa pun yang menjadikan agama sebagai alat meraih kedudukan, maka ia berada pada jejak kaum yang dicela Al-Qur’an.


2. Dalil Sunnah: Peringatan Nabi SAW tentang Menjual Agama

2.1. Hadis tentang Fitnah yang Membuat Orang Menjual Agamanya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ… قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:

«يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا»
(HR. Muslim)

“Seseorang pada pagi hari beriman, lalu sore hari menjadi kafir; atau sore hari beriman lalu pagi hari kafir; ia menjual agamanya demi harta dunia.”

→ Hadis ini adalah peringatan bahwa godaan dunia dapat menyebabkan seseorang mengorbankan akidah, termasuk ulama jika tidak menjaga ketakwaan.


2.2. Hadis tentang Ulama yang Paling Buruk

«أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي… عَالِمٌ مُضِلٌّ»

(HR. Ahmad)

“Yang paling aku khawatirkan atas umatku … adalah ulama yang menyesatkan.”

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa ulama sesat adalah mereka yang menyampaikan agama tidak berdasarkan ilmu, atau mengubah hukum demi kepentingan dunia.[^3]


2.3. Hadis tentang Pemimpin dan Ulama Munafik

«مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ… فَهُوَ فِي النَّارِ»

(HR. Tirmidzi)

“Siapa yang mencari ilmu untuk menandingi ulama, atau menarik perhatian manusia, maka ia di neraka.”

Hadis ini menegaskan bahwa mencari popularitas sebagai tujuan utama ilmu adalah kejahatan spiritual.


3. Penjelasan Ulama Klasik

3.1 Imam Malik

Imam Malik berkata:

«لا يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلَّا بِمَا صَلَحَ بِهِ أَوَّلُهَا»

“Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan cara yang membuat generasi awal menjadi baik.”[^4]

→ Pesan ini menegaskan bahwa metode dakwah tidak boleh dibangun atas kompromi akidah, meskipun zaman berubah.


3.2 Al-Ghazali

Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Al-Ghazali mengecam keras ulama su’:

“Ulama su’ ialah mereka yang menjadikan ilmu sebagai tangga menuju dunia… Mereka merusak agama dengan lisan mereka.”[^5]

Ulama ini bukan hanya berdosa, tetapi menjadi sebab kerusakan umat.


3.3 Ibn Taymiyyah

Ibnu Taymiyyah menegaskan:

«مَنْ جَعَلَ الدِّينَ تَبَعًا لِلْهَوَى فَقَدْ هَلَكَ»

“Siapa yang menjadikan agama mengikuti hawa nafsu, sungguh ia telah binasa.”[^6]

Dan beliau menyebut bahwa ulama pewaris para nabi tidak mengikuti manusia, tetapi membimbing manusia menuju kebenaran.


4. Ulama yang Selamat: Karakteristik dan Prinsip

4.1 Teguh pada Kebenaran Meski Sepi Pengikut

Ulama sejati lebih memilih kebenaran tanpa pengikut daripada popularitas tanpa prinsip. Ini sejalan dengan sabda Nabi SAW yang menyebut bahwa pada hari kiamat akan ada nabi yang hanya memiliki beberapa pengikut, bahkan tidak ada sama sekali.[^7]


4.2 Menyampaikan Ilmu tanpa Takut kepada Manusia

﴿ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْن أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ﴾

(QS. Al-Ahzab 33:39)

“Mereka yang menyampaikan risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya, tidak takut kepada siapa pun selain Allah.”

Inilah karakter inti ulama yang selamat.


4.3 Tidak Menjadikan Agama sebagai Komoditas

Mereka tidak menjual fatwa, tidak “menghalalkan” yang haram demi sponsor, tidak memoles agama demi rating, dan tidak menyembunyikan ayat demi menjaga pasar dakwah.


5. Mengapa Menjual Akidah Demi Popularitas Sangat Berbahaya?

5.1 Merusak Fondasi Keimanan Umat

Ketika ulama memodifikasi akidah demi selera publik, umat belajar bahwa kebenaran bisa dinegosiasikan.

5.2 Menjadi Sumber Fitnah Ilmiah

Umat kehilangan kepercayaan pada institusi keagamaan ketika ulama mudah berubah sesuai tekanan sosial.

5.3 Menurunkan Martabat Ilmu

Ilmu bukan lagi cahaya, tetapi alat propaganda. Ini bertentangan dengan prinsip:

«العِلْمُ نُورٌ»

“Ilmu adalah cahaya.”


6. Prinsip Dakwah Kontemporer agar Ulama Tidak Menjual Akidah

  1. Berpegang pada nash: akidah dan syariat yang qath‘i tidak boleh ditawar.
  2. Transparansi metodologi: jelaskan manhaj, kaidah ushul, dan alasan istidlal.
  3. Tidak mengejar statistik: jumlah penonton bukan indikator kebenaran.
  4. Konsultasi ilmiah: ulama harus saling menasehati (tafaqquh jama‘i).
  5. Menjaga adab ilmiah: tidak menghina ulama lain demi sensasi.

Kesimpulan

Ulama yang selamat adalah mereka yang:

  • memegang teguh akidah,
  • tidak mengkhianati amanah ilmu,
  • tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan dakwah, dan
  • hanya takut kepada Allah, bukan kepada komentar publik atau rating media.

Mereka adalah penerus tugas kenabian: menyampaikan kebenaran apa adanya, walaupun tidak populer.


Catatan Kaki (Footnote)

[^1]: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Azhīm, tafsir QS. al-Baqarah:41.
[^2]: Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, tafsir QS. an-Naḥl:95.
[^3]: Ibn Hajar, Fath al-Bārī, penjelasan bab ulama su’.
[^4]: Dinukil dalam banyak kitab tarbiyah dan manhaj salaf, termasuk Al-I‘tiṣām karya Asy-Syathibi.
[^5]: Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Bab Ulama Su’.
[^6]: Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, Juz 10.
[^7]: Hadis riwayat Bukhari-Muslim, tentang keadaan para nabi di hari kiamat.


Daftar Pustaka

  • Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din.
  • Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an.
  • Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim.
  • Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa.
  • Ibn Hajar, Fath al-Bari.
  • Shahih Muslim, Kitab al-Iman.
  • Sunan Tirmidzi.
  • Kitab-kitab ushul dakwah klasik dan kontemporer.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama