SUNGGUH MEMALUKAN: SEBAGIAN ULAMA SUNGKAN MELURUSKAN KEKELIRUAN GURUNYA:
KEKELIRUAN YANG DISUCIKAN, KEBATILAN YANG DILINDUNGI
Pendahuluan
Salah satu penyakit laten umat adalah ketika kesalahan tidak lagi diukur dengan dalil, tetapi dengan siapa yang mengucapkannya.
Lebih berbahaya lagi: ulama atau penuntut ilmu mengetahui kesalahan gurunya, namun memilih diam, demi menjaga “adab”, “wibawa”, atau “jamaah”.
Ini bukan adab.
Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah ilmu.
1. Kebenaran Tidak Pernah Tunduk kepada Guru
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Wahai orang-orang beriman, jadilah penegak keadilan karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri, orang tua, dan kerabat.”
(QS. an-Nisā’: 135)¹
Jika orang tua saja tidak boleh dibela dalam kebatilan, guru lebih tidak layak lagi untuk disucikan dari kesalahan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta.”
(HR. Ahmad)²
Diam terhadap kesalahan ilmiah bukan netral, tetapi ikut menanggung dosa penyimpangan.
2. Diamnya Ulama = Normalisasi Kebatilan
Allah ﷻ mengecam keras penyembunyian kebenaran:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ…
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan petunjuk yang Kami turunkan…”
(QS. al-Baqarah: 159)³
Ayat ini tidak mengecualikan ulama, apalagi murid senior.
Ibn Katsir menegaskan:
_“Ayat ini mencakup setiap orang yang mengetahui kebenaran lalu menyembunyikannya.”_⁴
3. Fanatisme Guru: Penyakit yang Disamarkan sebagai Adab
Sebagian orang berkata:
“Kami tahu ini keliru, tapi beliau guru besar, lebih alim.”
Ucapan ini identik dengan logika umat terdahulu.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ
“Kami mendapati bapak-bapak kami di atas suatu ajaran.”
(QS. az-Zukhruf: 23)⁵
Bedanya hanya istilah:
Dulu “nenek moyang”, sekarang “guru”.
4. Para Imam Mazhab Justru Membongkar Sikap Ini
Imam Malik رحمه الله
كُلٌّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
_“Semua orang bisa diterima dan ditolak pendapatnya, kecuali Rasulullah ﷺ.”_⁶
Imam Abu Hanifah رحمه الله
_“Haram bagi siapa pun mengambil perkataanku jika ia tidak tahu dari mana aku mengambilnya.”_⁷
Imam asy-Syafi‘i رحمه الله
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي عَرْضَ الْحَائِطِ
_“Jika hadits shahih, lemparkan pendapatku ke dinding.”_⁸
➡️ Para imam menghancurkan fanatisme terhadap diri mereka sendiri, sementara sebagian pengikut justru membangunnya.
5. Bahaya Nyata: Dari Kesalahan Ilmiah ke Penyimpangan Aqidah
Diam terhadap kesalahan guru menyebabkan:
- Bid‘ah diwariskan
- Kesesatan dilembagakan
- Tokoh berubah menjadi “maksum lokal”
- Kritik dianggap pembangkangan
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata:
_“Tidaklah bid‘ah menjadi besar kecuali karena fanatisme terhadap tokoh.”_⁹
6. Meluruskan Guru BUKAN Kurang Ajar
Imam Ahmad رحمه الله berkata:
_“Aku heran kepada kaum yang mengetahui sanad dan keabsahan hadits, tetapi mengikuti pendapat Sufyan.”_¹⁰
Jika Imam Ahmad mengkritik Sufyan ats-Tsauri (ulama besar), lalu siapa guru hari ini yang kebal koreksi?
Penutup
Diam demi guru bukan adab, tetapi pengecutan ilmiah.
Menjaga nama guru dengan mengorbankan dalil adalah agama versi hawa nafsu.
Agama ini tegak dengan hujjah, bukan dengan hierarki.
Guru dihormati karena mengikuti kebenaran, bukan karena kebal dari koreksi.
Footnote & Referensi
- Tafsir ath-Thabari, QS. an-Nisā’: 135
- Musnad Ahmad no. 1098
- Tafsir al-Qurthubi, QS. al-Baqarah: 159
- Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
- Tafsir Ibn Katsir, QS. az-Zukhruf: 23
- Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm
- al-Khatib al-Baghdadi, al-Faqih wal-Mutafaqqih
- an-Nawawi, al-Majmu‘
- Ibnul Qayyim, I‘lam al-Muwaqqi‘in
- Ibn Rajab, Fadl ‘Ilm as-Salaf


Posting Komentar