Membela Kebenaran Mendatangkan Rezeki Berkah, Membela Kebatilan Mendatangkan Rezeki Istidraj
(Buletin Dakwah Ilmiah Kontemporer)Pendahuluan
Dalam realitas sosial-keagamaan hari ini, tidak sedikit orang yang rela menggadaikan kebenaran demi keamanan ekonomi, bahkan demi limpahan materi sesaat. Padahal Islam menegaskan bahwa sumber keberkahan rezeki bukanlah keberpihakan kepada kekuasaan atau mayoritas, melainkan kejujuran, keadilan, dan keberanian membela kebenaran. Sebaliknya, rezeki yang diperoleh dengan membela kebatilan bukanlah nikmat, melainkan istidraj—kenikmatan yang menjerumuskan secara perlahan.
1. Membela Kebenaran: Jalan Rezeki yang Berkah
Islam memandang kebenaran (al-ḥaqq) sebagai nilai absolut yang wajib dibela, meskipun pahit dan berisiko secara duniawi. Allah menjanjikan keberkahan—bukan sekadar banyaknya harta, tetapi ketenangan, kecukupan, dan manfaat.
Firman Allah Ta‘ala:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
(QS. al-A‘rāf: 96)
Ayat ini menegaskan korelasi iman + takwa + komitmen pada kebenaran dengan turunnya barakah. Bukan sekadar income, tetapi outcome yang menentramkan dan berkesinambungan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya kejujuran menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun ke surga.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Kejujuran—inti dari pembelaan kebenaran—menjadi sebab turunnya pertolongan Allah, termasuk dalam urusan rezeki.
2. Membela Kebatilan: Rezeki yang Menjadi Istidraj
Berbeda dengan keberkahan, istidraj adalah bentuk “pemberian” yang justru mempercepat kehancuran. Allah membiarkan seseorang tenggelam dalam kenikmatan dunia, padahal ia sedang menjauh dari kebenaran.
Firman Allah Ta‘ala:
سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
“Kami akan menarik mereka secara berangsur-angsur (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka sadari.”
(QS. al-A‘rāf: 182)
Ibn Katsīr menjelaskan bahwa istidraj adalah kelapangan rezeki yang diberikan kepada pelaku maksiat dan pendukung kebatilan agar dosanya semakin bertambah tanpa ia sadari.[^1]
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَىٰ مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Jika engkau melihat Allah memberi seorang hamba kenikmatan dunia padahal ia bermaksiat, maka itu hanyalah istidraj.”
(HR. Aḥmad)
Rezeki yang datang karena membela kebatilan, menormalisasi kesesatan, memoles kebohongan, atau membungkam kebenaran—meskipun tampak melimpah—hakikatnya adalah racun yang manis.
3. Analisis Kontemporer: Antara Aman dan Amanah
Di era sekarang, kebatilan sering tampil rapi: dibungkus narasi moderasi palsu, toleransi tanpa prinsip, dan stabilitas tanpa keadilan. Banyak yang memilih “aman”, asal dapur ngebul dan proyek jalan, meski harus mengorbankan prinsip.
Padahal, ulama menegaskan:
مَا نَقَصَ مَالٌ مِنْ صِدْقَةٍ
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah.”
(HR. Muslim)
Jika sedekah saja tidak mengurangi harta, apalagi membela kebenaran—yang merupakan sedekah moral dan spiritual tertinggi. Sebaliknya, rezeki dari kebatilan sering diiringi kegelisahan, konflik batin, ketergantungan pada manusia, dan hilangnya keberanian berkata benar.
4. Penutup: Ukur Rezeki dengan Akhirat
Islam tidak mengajarkan kemiskinan, tetapi mengajarkan keberanian bermoral. Rezeki yang patut dicari adalah rezeki yang menguatkan iman, menenangkan hati, dan mendekatkan kepada Allah.
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Katakanlah: orang-orang yang rugi adalah mereka yang merugikan diri dan keluarganya pada hari Kiamat.”
(QS. az-Zumar: 15)
Maka, jangan tertipu oleh rezeki yang datang dari membela kebatilan. Itu bukan nikmat, melainkan jebakan. Sebaliknya, tegakkan kebenaran meski terasa berat, karena di sanalah Allah titipkan rezeki yang berkah dan keselamatan hakiki.
Catatan Kaki (Footnote)
[^1]: Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, tafsir QS. al-A‘rāf: 182.
[^2]: al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, pembahasan tentang istidraj dan sunnatullah terhadap pelaku maksiat.
[^3]: Ibn al-Qayyim, al-Fawā’id, bab tentang perbedaan nikmat, ujian, dan istidraj.


Posting Komentar