Beda Dong! Jabatan karena Amanah vs Jabatan karena Jatah



Beda Dong! Jabatan karena Amanah vs Jabatan karena Jatah**

Pendahuluan

Dalam realitas sosial-keumatan hari ini, jabatan sering kali tidak lagi dipahami sebagai amanah, melainkan direduksi menjadi jatah: hasil kedekatan, transaksi, kompromi kepentingan, atau balas jasa. Padahal dalam Islam, jabatan bukan kehormatan yang dicari, melainkan beban tanggung jawab yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Buletin ini menegaskan perbedaan prinsipil antara jabatan karena amanah dan jabatan karena jatah, agar umat tidak terkecoh oleh simbol religius tanpa substansi moral.


1. Jabatan karena Amanah

Definisi

Jabatan karena amanah adalah kedudukan yang diberikan berdasarkan kelayakan (ahliyyah), kapasitas, integritas, dan komitmen pada kebenaran, bukan karena relasi personal atau tekanan kelompok.

Landasan Al-Qur’an

Allah Ta‘ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. an-Nisā’ [4]: 58)

Ayat ini menjadi kaidah agung pemerintahan dan kepemimpinan, bahwa jabatan wajib diberikan kepada ahlinya, bukan kepada yang paling dekat atau paling menguntungkan secara politik.¹

Karakter Jabatan Amanah

  • Tidak meminta jabatan
  • Siap dikritik dan diawasi
  • Mendahulukan maslahat umat
  • Berani menolak intervensi batil
  • Takut hisab, bukan takut kehilangan kursi

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْإِمَارَةَ وُكِلَ إِلَيْهَا
“Barangsiapa meminta jabatan, maka ia akan dibebankan sepenuhnya kepadanya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)²


2. Jabatan karena Jatah

Definisi

Jabatan karena jatah adalah kedudukan yang diperoleh bukan karena kelayakan, tetapi karena:

  • Kedekatan emosional
  • Kesamaan kelompok
  • Transaksi kepentingan
  • Tekanan massa atau elite
  • Politik balas budi

Ciri-ciri Jabatan Jatah

  • Anti kritik
  • Gemar pencitraan
  • Sibuk menjaga posisi
  • Tunduk pada pemberi “jatah”
  • Mudah menghalalkan pelanggaran

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَىٰ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.”
(HR. al-Bukhari)³

Hadis ini bukan sekadar peringatan administratif, tetapi vonis moral dan sosial: jabatan jatah adalah pintu kehancuran umat.


3. Dampak Sosial dan Keumatan

Jabatan Amanah Jabatan Jatah
Menguatkan keadilan Melanggengkan ketimpangan
Menumbuhkan kepercayaan Melahirkan sinisme publik
Menghidupkan kontrol Membungkam kebenaran
Menghasilkan kebijakan maslahat Melahirkan kerusakan sistemik

Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan:

*“Kerusakan agama dan dunia sering kali bersumber dari pemimpin yang tidak amanah dan tidak kompeten.”*⁴


4. Refleksi Dakwah Kontemporer

Dalam konteks dakwah hari ini, jabatan “keagamaan” pun tidak luput dari penyakit jatah:

  • Pengurus karena garis keturunan
  • Tokoh karena popularitas
  • Pemimpin karena fanatisme jamaah

Padahal simbol agama tanpa amanah adalah fitnah, dan jabatan religius tanpa kejujuran adalah bentuk pengkhianatan atas nama Islam.


Penutup

Islam tidak memusuhi jabatan, tetapi memusuhi jabatan yang diperlakukan sebagai jatah.
Jabatan adalah ujian, bukan hadiah.
Amanah adalah beban, bukan kebanggaan.

Kursi bisa mengangkat status di dunia, tapi hanya amanah yang menyelamatkan di akhirat.


Catatan Kaki (Footnote)

  1. Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, jilid 10, tafsir QS. an-Nisā’: 58.
  2. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam; Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah.
  3. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-‘Ilm.
  4. Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar‘iyyah, hlm. 23–25.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama