SEHEBAT APA PUN USTADZNYA, TAPI MEMBELA KETURUNAN PALSU NABI SAW: IA “BUDAK DOKTRIN”
Kajian Ilmiah Buletin Dakwah Kontemporer
Pendahuluan
Fenomena sebagian dai atau ustadz yang secara terbuka membela klaim keturunan palsu Nabi Muhammad ﷺ bukanlah perkara kecil. Di tengah maraknya budaya “klaim nasab”, “habib palsu”, atau “sayyid instan”, sebagian orang berilmu justru terjebak menjadi pembenar yang tidak kritis. Dalam perspektif dakwah kontemporer, hal ini bukan hanya masalah kekeliruan data, tetapi masalah kerusakan epistemologi, dekadensi moral keilmuan, dan ketundukan terhadap doktrin kelompok.
Inilah yang disebut para ulama sebagai al-jahl al-murakkab—kebodohan berlapis—yakni seseorang merasa tahu, padahal ia tidak tahu, tetapi tetap membela dengan fanatisme.[1]
1. Ketika Nasab Dijadikan Komoditas
Kecenderungan sebagian kelompok menjual “nasab keturunan Rasulullah ﷺ” sebagai alat legitimasi otoritas spiritual semakin meningkat. Padahal Islam membangun otoritas bukan di atas keturunan, tetapi di atas ketaatan kepada Allah dan keilmuan yang lurus, sebagaimana firman Allah:
﴿ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ﴾
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”[2]
Namun, ketika nasab menjadi komoditas, sebagian dai terseret arus popularitas, politik identitas, dan tekanan sosial sehingga pembelaannya tidak lagi objektif.
2. Ustadz yang Membela Nasab Palsu: Terjebak dalam Doktrin
Mengapa sebagian ustadz yang cerdas bisa jatuh pada pembelaan yang tidak ilmiah?
a. Kecerdasan Tidak Menjamin Kebebasan Berpikir
Kecerdasan logika tidak otomatis membuat seseorang mampu melawan tekanan sosial atau kelompok. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa manusia bisa terseret oleh “asababul hawa”—dorongan hawa nafsu dan loyalitas kelompok—meski ia berilmu.[3]
b. Otoritas Kelompok Mengalahkan Otoritas Ilmu
Dalam psikologi sosial, ini disebut group conformity—ketika seorang individu mematuhi kelompok meskipun ia tahu kelompok itu salah. Pada akhirnya ia bukan lagi pembela kebenaran, tetapi produk dari induktrinasi.
Inilah yang dimaksud dengan istilah dakwah: “Budak Doktrin” — seseorang yang kehilangan daya kritis karena komitmennya kepada tokoh atau kelompok lebih besar daripada komitmennya kepada kebenaran.
c. Jika Ustadz Tunduk pada Doktrin, Ia Menjadi Penyesat Bersertifikat
Rasulullah ﷺ memperingatkan keras:
“فَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلَّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ”
“Yang paling aku takutkan atas umatku adalah orang munafik yang pandai berbicara.”[4]
Para ulama menafsirkan bahwa bahaya terbesar adalah alim yang membelokkan ilmu demi kepentingan tertentu.
3. Kritik Ilmiah terhadap Pembela Nasab Palsu
a. Klaim Nasab Harus Dibuktikan secara Ilmiah
Dalam disiplin ilmiah al-ansâb (ilmu nasab), setiap klaim keturunan Nabi ﷺ wajib disertai:
- Silsilah lengkap yang tersambung
- Verifikasi ulama nasab yang kompeten
- Catatan sejarah yang konsisten
- Dokumen yang tidak terputus[5]
Jika seorang ustadz membela nasab tanpa bukti, maka ia telah menyalahi prinsip ilmiah Islam.
b. Membela yang Palsu Berarti Mengkhianati yang Asli
Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan bahwa pemalsuan nasab adalah bentuk tazwîr dinî—pemalsuan agama—karena memalsukan sesuatu yang memiliki implikasi hukum dan kehormatan syariat.[6]
Dalam Islam, penghormatan terhadap Ahlul Bait adalah kewajiban. Namun membela klaim palsu sama saja menghina Ahlul Bait yang asli.
c. Pembela Nasab Palsu Telah Melanggar Amanah Ilmu
Allah menegur mereka yang menyembunyikan kebenaran demi keuntungan:
﴿ وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ ﴾
“Janganlah kalian campuradukkan yang hak dengan yang batil dan kalian sembunyikan kebenaran.”[7]
4. Fenomena “Budak Doktrin” dalam Perspektif Dakwah Kontemporer
a. Ketika Identitas Mengalahkan Objektivitas
Sebagian dai membela bukan karena yakin benar, tetapi karena:
- Takut kehilangan jamaah
- Takut kehilangan akses sosial
- Takut dimusuhi kelompok tertentu
- Takut dibilang “tidak hormat kepada keturunan Nabi”
Padahal hormat kepada Nabi ﷺ dan keturunannya tidak berarti membenarkan pembohongan publik.
b. Kecanduan Popularitas
Media sosial menciptakan budaya “panggung dakwah instan” di mana solidaritas terhadap figur lebih kuat daripada solidaritas kepada ilmu. Ketika popularitas menjadi tujuan, kebenaran menjadi nomor dua.
c. Hilangnya Independensi Ulama
Ulama sejati adalah yang berdiri atas kebenaran, meski sendirian. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim:
“Ulama yang hakiki adalah yang tidak dikendalikan oleh penguasa, harta, atau manusia.”[8]
Sebaliknya, ustadz yang tunduk pada doktrin tidak lagi merdeka.
5. Konsekuensi Berat Membela Kepalsuan
a. Mengajak Umat pada Kekeliruan
Setiap umat yang tersesat akibat pembelaannya akan menjadi beban amal buruknya.[9]
b. Merusak kredibilitas dakwah
Dunia dakwah menjadi tercemar karena orang-orang yang berilmu malah membuka pintu kebohongan.
c. Menjerumuskan diri kepada ancaman Nabi ﷺ
Dalam hadits disebutkan:
“مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا”
“Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan bagian dari kami.”[10]
Pemalsuan nasab adalah bentuk penipuan, dan pembelaannya adalah partisipasi dalam penipuan.
Kesimpulan
Ustadz atau dai—sehebat apa pun ilmunya—jika membela keturunan palsu Nabi ﷺ, maka ia bukan pembela kebenaran, tetapi budak doktrin, terbelenggu oleh loyalitas kelompok, popularitas, dan kepentingan dunia.
Ilmu yang selamat adalah ilmu yang membebaskan dari fanatisme. Dakwah yang lurus adalah dakwah yang setia pada kebenaran, bukan pada manusia. Dan kemuliaan nasab adalah amanah, bukan komoditas.
Maka kewajiban umat adalah mencintai Ahlul Bait yang asli, dan pada saat yang sama menolak pemalsuan demi menjaga kemuliaan Nabi ﷺ.
Daftar Footnote
[1] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’ârud al-‘Aql wa an-Naql.
[2] QS. Al-Hujurât: 13.
[3] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, jilid tentang hawa dan bid’ah.
[4] HR. Ahmad (no. 23060).
[5] Lihat: Al-Suyuthi, Lubâb al-Ansâb; Al-Qurasyi, Nihâyat al-Arab fî Ma‘rifat Ansâb al-‘Arab.
[6] Bakr Abu Zaid, Tahrîf an-Nasab.
[7] QS. Al-Baqarah: 42.
[8] Ibnul Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi‘în.
[9] HR. Muslim: “Barangsiapa mengajak kepada kesesatan…”
[10] HR. Muslim (no. 101).
Daftar Referensi
- Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’ârud al-‘Aql wa an-Naql.
- Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ.
- Ibnul Qayyim, I‘lâm al-Muwaqqi‘în.
- Al-Suyuthi, Lubâb al-Ansâb.
- Al-Qurasyi, Nihâyat al-Arab fî Ma‘rifat Ansâb al-‘Arab.
- Bakr Abu Zaid, Tahrîf an-Nasab.
- Muslim, Sahih Muslim.
- Ahmad, Musnad Ahmad.
- Al-Qur’an al-Karim.


Posting Komentar