Rakus dan Keliru Memahami Taubat Menumbuhkan Sifat Gampang Berbuat Dosa


Rakus dan Keliru Memahami Taubat Menumbuhkan Sifat Gampang Berbuat Dosa

(Versi Ilmiah Buletin Dakwah)

Pendahuluan

Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan materialistik, banyak manusia terperangkap dalam dua penyakit hati berbahaya: rakus terhadap dunia dan keliru memahami hakikat taubat. Dua hal ini tampak sepele, tetapi bila berpadu akan melahirkan sikap mudah berbuat dosa dengan anggapan “toh nanti bisa taubat.” Pandangan seperti ini bukan hanya menyesatkan, melainkan juga menunjukkan lemahnya iman serta pemahaman yang dangkal terhadap rahmat dan keadilan Allah ﷻ.


Hakikat Rakus dan Akibatnya

Rakus (الطمع) berarti keinginan yang melampaui batas terhadap harta, kekuasaan, atau kesenangan duniawi. Allah ﷻ memperingatkan dalam firman-Nya:

«وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.”

(QS. الفجر [89]: 20)»

Rasa rakus membuat manusia lupa diri, menjerumuskannya pada perbuatan dosa demi memenuhi ambisi. Rasulullah ﷺ bersabda:

«"لو كان لابن آدم واديان من مال لابتغى لهما ثالثًا، ولا يملأ جوف ابن آدم إلا التراب، ويتوب الله على من تاب."

“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia menginginkan yang ketiga. Tidak akan memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa yang bertaubat.”

(HR. al-Bukhārī dan Muslim)»

Hadis ini menggambarkan bahwa sifat rakus tidak pernah puas. Jika tidak diimbangi dengan taqwa, maka keinginan dunia akan menyeret manusia terus-menerus pada dosa.


Keliru Memahami Taubat

Taubat (التوبة) bukanlah sekadar ucapan istighfar atau penyesalan sesaat. Banyak orang berdosa merasa aman karena yakin bisa “taubat nanti,” seolah taubat adalah kartu bebas dari neraka kapan pun diinginkan. Padahal, Allah ﷻ berfirman:

«إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ

“Sesungguhnya taubat yang diterima Allah hanyalah bagi orang-orang yang berbuat dosa karena kejahilan, kemudian mereka segera bertaubat.”

(QS. النساء [4]: 17)»

Ayat ini menegaskan bahwa taubat sejati harus segera dilakukan, bukan ditunda-tunda. Menunda taubat atau sengaja berbuat dosa dengan rencana “akan bertaubat nanti” adalah bentuk penipuan terhadap diri sendiri dan termasuk dosa besar.

Kaitannya dengan Sifat Gampang Berbuat Dosa

Ketika rakus terhadap dunia tidak dikendalikan dan pemahaman terhadap taubat menjadi keliru, maka seseorang akan terprogram untuk berani berdosa. Ia berpikir bahwa setiap dosa bisa dihapus dengan taubat, tanpa menyadari bahwa taubat sejati menuntut penyesalan mendalam, penghentian maksiat, dan komitmen untuk tidak mengulanginya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«"الْمُسْتَغْفِرُ مِنَ الذَّنْبِ وَهُوَ مُصِرٌّ عَلَيْهِ كَالْمُسْتَهْزِئِ بِرَبِّهِ."

“Orang yang beristighfar dari dosa tetapi masih terus mengulanginya, sama seperti orang yang memperolok-olok Tuhannya.”

(HR. al-Bayhaqī)»


Analisis Ulama dan Pakar

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat tidak sah kecuali jika diiringi dengan rasa takut terhadap dosa dan niat kuat untuk meninggalkannya. Sementara Imam al-Ghazali menegaskan bahwa taubat palsu justru menjadi dosa baru karena memanipulasi kasih sayang Allah untuk menutupi hawa nafsu.

Secara psikologis, orang yang merasa “bisa mengatasi dosa dengan taubat” mengalami moral licensing — pembenaran diri untuk berbuat salah karena merasa masih punya cara menebusnya. Fenomena ini menyebabkan hilangnya rasa malu dan lemahnya kendali moral.

Penutup dan Solusi

Rakus dan keliru memahami taubat adalah kombinasi berbahaya yang menjauhkan manusia dari jalan lurus. Solusinya ialah:

1. Menanamkan sifat qana‘ah (puas dengan rezeki halal).

2. Memahami taubat secara benar — bahwa taubat adalah janji kepada Allah untuk berubah, bukan izin untuk mengulangi dosa.

3. Memperkuat muhasabah diri dan rasa takut kepada Allah sebagaimana firman-Nya:

«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”

(QS. الحشر [59]: 18)»


Daftar Pustaka

1. Al-Qur’an al-Karim.

2. Shahih al-Bukhārī dan Muslim.

3. Al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.

4. Ibnul Qayyim, Madarij as-Sālikīn.

5. Al-Bayhaqī, Syu‘ab al-īmān.

6. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama