Pergeseran Konten Dakwah Era Digital dari Ilmu kepada Selera Pasar



Pergeseran Konten Dakwah Era Digital dari Ilmu kepada Selera Pasar

Versi Ilmiah Buletin Dakwah — Lengkap dengan Footnote & Daftar Pustaka

Abstrak

Artikel ini mengkaji fenomena pergeseran dakwah digital dari orientasi keilmuan (bashīrah) menuju selera pasar yang ditentukan algoritma, komersialisasi, dan preferensi audiens. Analisis didasarkan pada dalil Al-Qur’an, Sunnah, dan literatur ilmiah kontemporer tentang komunikasi Islam dan budaya digital.


1. Pendahuluan

Perubahan ekosistem komunikasi digital telah menggeser pola dakwah dari penyampaian ilmu ke konten berbasis hiburan dan popularitas. Padahal Al-Qur’an menegaskan:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى ٱللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas dasar ilmu.” (QS. Yūsuf: 108)¹

Ayat ini menegaskan bahwa basis dakwah adalah bashīrah—ilmu, keluasan pemahaman, dan manhaj yang benar.


2. Faktor Penyebab Pergeseran Dakwah pada Era Digital

2.1. Dominasi Algoritma Media Sosial

Media sosial bekerja berdasarkan interaksi, bukan kebenaran. Konten yang menghibur dan memicu emosi lebih cepat viral dibandingkan penjelasan ilmiah.²

2.2. Komersialisasi dan Industri Influencer

Monetisasi konten membuat sebagian pendakwah menyesuaikan materi dengan kebutuhan pasar: judul bombastis, editing dramatis, dan branding personal.³ Dakwah pun menjadi produk spiritual yang dipasarkan.

2.3. Preferensi Audiens terhadap Konten Singkat dan Emosional

Generasi digital cenderung menyukai konten pendek dan inspiratif. Akibatnya, materi dakwah ilmiah dianggap “kurang menarik” dibandingkan storytelling atau motivasi tanpa dalil.⁴

2.4. Minimnya Otoritas Ilmiah dalam Dakwah Digital

Siapa pun dapat tampil sebagai penceramah tanpa proses talaqqi, sanad, dan disiplin ilmu. Padahal Nabi ﷺ memperingatkan:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Siapa berbicara tentang Al-Qur’an tanpa ilmu, maka bersiaplah duduk di neraka.” (HR. Tirmiżi)⁵


3. Bentuk-Bentuk Pergeseran Konten Dakwah

3.1. Reduksi Ilmu menjadi Hiburan Religius

Dakwah dikemas sebagai komedi, drama, atau motivasi spiritual, sementara unsur ilmiah dikurangi.⁶

3.2. Clickbait Religius

Judul sensasional digunakan demi tayangan, seperti:

  • “INI Alasan Shalatmu Tidak Pernah Diterima!”
  • “Jangan Shalat Jika Belum Tahu Fakta Ini!”
    Konten sering tidak sesuai dengan judulnya.

3.3. Kultus Tokoh Digital

Pendakwah menjadi selebritas media, memiliki fanbase, merchandise, dan “pasar sendiri”. Fenomena ini menggeser fokus dakwah dari substansi ilmu ke figur personal.⁷

3.4. Dakwah Motivasi Tanpa Validasi Dalil

Banyak konten memakai teori self-help, afirmasi modern, dan psikologi populer, dianalogikan dengan istilah keagamaan namun minim validitas ilmiah.⁸


4. Dampak Pergeseran Dakwah terhadap Umat

4.1. Munculnya Generasi Religius-Emosional

Mudah tersentuh, tetapi lemah dalam pemahaman syariat. Religiusitas berbasis sensasi, bukan ilmu.⁹

4.2. Dekonstruksi Otoritas Keilmuan

Ulama yang hakiki kalah oleh “ulama algoritma”. Nabi ﷺ telah mengingatkan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا... وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعُلَمَاءَ
“Allah tidak mencabut ilmu sekaligus, tetapi mencabutnya dengan wafatnya para ulama.” (HR. Bukhari)¹⁰

4.3. Penyebaran Hoaks dan Penyimpangan Agama

Tanpa fondasi ilmiah, dakwah digital mudah tercampur hoaks, hadis palsu, dan teori konspirasi spiritual. Hal ini menimbulkan kerusakan akidah dan kebingungan umat.¹¹

4.4. Hilangnya Keberkahan Dakwah

Dakwah yang mengejar popularitas kehilangan ruh ikhlas, kejujuran ilmiah, dan orientasi akhirat.¹²


5. Solusi: Mengembalikan Dakwah kepada Bashīrah

5.1. Penguatan Manhaj Ilmiah

Dakwah harus kembali kepada:

  • metodologi tafsir,
  • kaidah ushul-fikih,
  • penjelasan ulama muktabar,
  • validasi hadis.

5.2. Edukasi Literasi Keagamaan Publik

Masyarakat perlu dibimbing agar mampu membedakan:

  • ilmu vs opini,
  • ulama vs konten-kreator,
  • motivasi vs dalil.

5.3. Dakwah Ilmiah yang Dikemas Kreatif

Pengemasan modern tidak bertentangan dengan substansi ilmiah. Format yang dianjurkan:

  • infografik dalil,
  • serial kajian singkat berjenjang,
  • video pendek berisi kaidah,
  • podcast kitab.

5.4. Etika Digital bagi Pendakwah

Pendakwah wajib menjaga:

  • keikhlasan,
  • ketelitian ilmiah,
  • amanah penyampaian dalil,
  • tidak memanipulasi emosi penonton demi “engagement”.

6. Kesimpulan

Pergeseran dakwah digital dari ilmu ke selera pasar merupakan tantangan besar bagi umat. Media digital adalah sarana, bukan orientasi. Dakwah harus kembali pada bashīrah, bukan popularitas; pada keilmuan, bukan algoritma.


Footnote

  1. QS. Yūsuf: 108.
  2. Zulli, D. & Zulli, D.J. Extending the Attention Economy. Social Media Studies, 2021.
  3. Hidayat, A. Komersialisasi Dakwah di Media Digital. Jurnal Komunikasi Islam, 2020.
  4. Nasrullah, R. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Kencana, 2018.
  5. HR. Tirmiżi no. 2950.
  6. Rakhmat, J. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya, 2019.
  7. Campbell, H. Digital Religion: Understanding Religious Practice in New Media Worlds. Routledge, 2016.
  8. Ginanjar, A. Spiritual Marketing dan Psikologi Pop. Jurnal Humaniora, 2022.
  9. Turmudi, E. Islam Populer dan Budaya Emosional. UIN Press, 2020.
  10. HR. Bukhari no. 100.
  11. Al-Qaradawi, Y. al-Ṣaḥwah al-Islāmiyyah baina al-Juhūd wa al-Tatarruf. 1991.
  12. Ibn al-Jauzi, Shaidul Khatir. Dār al-Ma‘rifah.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Qaradawi, Yusuf. al-Ṣaḥwah al-Islāmiyyah baina al-Juhūd wa al-Tatarruf. Kairo: Maktabah Wahbah, 1991.
  • Campbell, Heidi. Digital Religion. London: Routledge, 2016.
  • Ginanjar, A. “Spiritual Marketing dan Psikologi Pop.” Jurnal Humaniora, 2022.
  • Hidayat, A. “Komersialisasi Dakwah di Media Digital.” Jurnal Komunikasi Islam, 2020.
  • Ibn al-Jauzi. Shaidul Khatir. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
  • Nasrullah, Rulli. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Jakarta: Kencana, 2018.
  • Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2019.
  • Zulli, David & Zulli, D.J. “Extending the Attention Economy.” Social Media Studies, 2021.
  • Tafsir dan Hadis: Sahih Bukhari & Sunan Tirmiżi.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama