PERBEDAAN FITNAH VS Penegakan Kebenaran dalam Dugaan Ijazah Palsu



PERBEDAAN FITNAH VS Penegakan Kebenaran dalam Dugaan Ijazah Palsu

Perspektif Islam & Hukum Negara
(Versi Ilmiah Buletin Dakwah Kontemporer)


ABSTRAK

Isu kecurangan akademik, khususnya dugaan pemalsuan ijazah, muncul dalam berbagai konteks sosial-politik. Dalam pandangan Islam, membahas dugaan kesalahan seseorang berada di antara dua wilayah yang sangat berbeda: fitnah (tuduhan tanpa bukti) dan tabyîn (penjelasan demi menegakkan kebenaran). Dalam perspektif hukum negara, kasus ijazah palsu masuk kategori tindak pidana pemalsuan dokumen. Artikel ini menganalisis secara mendalam perbedaan antara fitnah dan penegakan kebenaran, baik dari sisi Islam maupun hukum positif Indonesia, dilengkapi dalil, teori, pendapat fuqahā, ahli hukum, serta analisis kontemporer.


1. Pendahuluan

Fenomena krisis moral dan manipulasi identitas akademik menunjukkan bagaimana kejujuran publik diuji. Ketika muncul tuduhan, umat sering bingung: Apakah mengkritisi dugaan ijazah palsu itu termasuk fitnah? Ataukah kewajiban menegakkan kebenaran?

Islam tidak membiarkan dua hal ini tercampur. Syariat menutup pintu fitnah sekaligus membuka pintu keadilan dan amar ma’ruf nahi munkar—dengan syarat-syarat yang ketat.


2. Definisi Konseptual: Fitnah vs Penegakan Kebenaran

2.1 Fitnah (الفِتْنَة)

Definisi Ulama

  • Ibn al-Atsir: “Al-fitnah ialah tuduhan yang tidak terbukti dan setiap ucapan yang bertujuan menjatuhkan seseorang tanpa hak.”
  • Al-Jurjani: “Fitnah adalah membalikkan fakta, menuduh tanpa dalil, dan menimbulkan kerusakan sosial.”

Dalil Al-Qur’an

﴿ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ﴾
“Fitnah itu lebih besar (kejahatannya) daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 191)

Makna

Fitnah = tuduhan → tanpa bukti → berniat menjatuhkan → merusak kehormatan manusia.


2.2 Penegakan Kebenaran (الْبَيَان، النُّصْح، الأَمْرُ بِالْمَعْرُوف)

Dalil Al-Qur’an

﴿ وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
“Janganlah kalian campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kalian sembunyikan kebenaran, padahal kalian mengetahuinya.”
(QS. Al-Baqarah: 42)

Hadis Nabi

« انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا »
“Tolonglah saudaramu baik ia zalim maupun dizalimi.”
Sahabat bertanya: “Bagaimana menolongnya ketika ia zalim?”
Nabi menjawab:
« تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ »
“Engkau mencegahnya dari kezaliman.” (HR. Bukhari)

Makna

Penegakan kebenaran = upaya mengungkap fakta berdasarkan bukti, demi menjaga amanah publik, keadilan, dan mencegah kezaliman.


3. Prinsip Syariah dalam Menyikapi Dugaan Ijazah Palsu

3.1 Prinsip Tabayyun (تَبَيُّن) – Verifikasi Informasi

Dalil

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا ﴾
“Wahai orang beriman, jika datang kepada kalian berita dari orang fasik, maka telitilah (tabayyun)…” (QS. Al-Hujurat: 6)

Relevansi:
Sebelum menuduh seseorang memiliki ijazah palsu, wajib ada bukti administratif, verifikasi institusi, dan proses hukum.


3.2 Prinsip Hifzh al-‘Ird (Penjagaan Kehormatan)

Dalil

﴿ وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ﴾
“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Tuduhan tanpa bukti = meruntuhkan kehormatan = termasuk ghîbah dan buhtān (fitnah).


3.3 Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Mungkar untuk Kepemimpinan Publik

Kepemimpinan membutuhkan integritas.

Dalil

﴿ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴾
“Jadikan kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)

Ulama sepakat:
Menegur, mengungkap, atau mengkritisi pemimpin yang berbuat salah—dengan bukti—adalah bagian dari nahi munkar.
Ini bukan fitnah, asalkan sesuai kaidah.


4. Kaidah Fikih yang Relevan dalam Dugaan Ijazah Palsu

  1. البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي
    “Bukti wajib ditampilkan oleh pihak yang menuduh.”

  2. الدَّرَرُ يُزَالُ
    “Mudarat harus dihilangkan.”
    Termasuk mudarat pejabat publik yang memanipulasi identitas akademik.

  3. تَحَمُّلُ الْمَفَاسِدِ الصَّغِيرَةِ لِدَفْعِ الْمَفَاسِدِ الْكَبِيرَةِ
    “Boleh menanggung mudarat kecil demi menolak mudarat lebih besar.”
    Mengungkap pemalsuan dokumen → mencegah kerusakan negara → maslahat lebih besar.


5. Analisis Hukum Negara (Indonesia) tentang Ijazah Palsu

5.1 Undang-Undang yang Mengatur

(1) KUHP Pasal 263

Pemalsuan surat / dokumen negara diancam pidana 6 tahun penjara.

(2) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 69: pemalsuan ijazah termasuk tindak pidana.

(3) UU Administrasi Pemerintahan & UU ASN

Pemalsuan data administratif pejabat negara → pelanggaran etik → sanksi pemberhentian.

Inti hukum negara:

Jika ada bukti awal (novum), negara wajib memprosesnya.
Ini bukan fitnah, tetapi mekanisme legal.


6. Fitnah dalam Kasus Ijazah Palsu: Kapan Terjadi?

Sebuah tuduhan menjadi fitnah apabila:

  1. Tidak berdasar bukti administratif.
  2. Disampaikan untuk menjatuhkan martabat pribadi bukan demi kejujuran publik.
  3. Menggunakan narasi provokatif tanpa prosedur hukum.
  4. Menyebarkan isu ke media sosial tanpa verifikasi lembaga resmi.
  5. Memvonis sebelum ada keputusan hukum.

Dalil yang melarang

﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ … وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dan barang siapa menentang Rasul dan mengikuti selain jalan orang beriman…” (QS. An-Nisa: 115)
— termasuk cara penyebaran isu yang melampaui etika Islam.


7. Penegakan Kebenaran dalam Kasus Ijazah Palsu: Kapan Menjadi Wajib?

Menurut ulama dan hukum negara, mengungkap kecurangan akademik menjadi kewajiban jika:

  1. Ada bukti awal/indikasi kuat (misalnya perbedaan data institusi, arsip, nomor seri, log administrasi).
  2. Pihak yang dituduh memegang jabatan publik → menyangkut hajat hidup rakyat.
  3. Ada potensi mudarat besar bagi negara (kebijakan publik dibuat oleh orang yang memalsukan identitas).
  4. Dilakukan melalui prosedur:
    • laporan resmi,
    • permintaan klarifikasi,
    • audit dokumentasi.

Dalil

﴿ كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾
“Kalian adalah umat terbaik… kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110)

Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi, Shalih al-Munajjid, Wahbah Zuhayli menegaskan bahwa:

“Jika sebuah kebohongan berdampak pada publik, maka mengungkap kebenaran bukan ghîbah, tetapi wajib syar’i.”


8. Perbedaan Fitnah vs Penegakan Kebenaran (Tabel Komparatif)

Aspek Fitnah Penegakan Kebenaran
Bukti Tidak ada Ada bukti awal/verifikasi
Tujuan Menjatuhkan orang Menegakkan amanah publik
Motivasi Kebencian, politik Integritas, tanggung jawab
Hukum Islam Haram Wajib jika terkait kemaslahatan
Hukum Negara Pelanggaran UU ITE Dilindungi sebagai pelaporan
Proses Medsos, gosip Laporan resmi, audit dokumen

9. Analisis Kontemporer: Krisis Moralitas Dokumen Akademik

Dalam era digital, ketimpangan antara kompetensi dan gelar menimbulkan fenomena:

  • inflasi gelar (degree inflation),
  • forgery culture (budaya pemalsuan),
  • politik pencitraan berbasis latar pendidikan palsu.

Para pakar integritas publik seperti Robert Klitgaard dan ahli etika pemerintahan menegaskan bahwa administasi publik runtuh ketika pejabatnya mendasarkan legitimasi pada dokumen tidak autentik.

Dalam konteks dakwah, manipulasi gelar = bentuk tazwir (penipuan)
yang diharamkan berdasar hadis:

« مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا »
“Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
(HR. Muslim)


10. Kesimpulan Ilmiah

  1. Fitnah = tuduhan tanpa bukti dan merupakan dosa besar.
  2. Penegakan kebenaran = upaya ilmiah dan legal untuk mengungkap kesalahan berdasarkan bukti.
  3. Dalam Islam, mengungkap manipulasi yang merugikan publik → wajib, bukan fitnah.
  4. Dalam hukum negara, dugaan ijazah palsu → ranah pidana, dan laporannya dilindungi hukum.
  5. Dakwah harus mendorong umat untuk menjunjung tabayyun, integritas, dan amanah.

Footnote (Catatan Kaki)

  1. Ibn al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr.
  2. Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Dar al-Kutub.
  3. Tafsir Ibn Katsir, QS. Al-Baqarah: 191.
  4. HR. Bukhari no. 2444.
  5. Tafsir Al-Qurthubi, QS. Al-Hujurat: 6.
  6. Wahbah Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr.
  7. KUHP Pasal 263.
  8. UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 69.
  9. Muslim, Shahih Muslim, hadis “man ghashyana”.

Daftar Pustaka

Sumber Islam & Tafsir

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim.
  • Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur’an.
  • Wahbah Zuhayli, Tafsir al-Munir; Ushul al-Fiqh al-Islami.
  • Muslim, Shahih Muslim.
  • Al-Jurjani, At-Ta’rifat.
  • Ibn al-Atsir, An-Nihayah.

Hukum Negara

  • KUHP, Pasal 263 tentang Pemalsuan Surat.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
  • UU Administrasi Pemerintahan.
  • UU ASN & PP Kode Etik Pejabat Negara.

Kajian Akademik & Etika Publik

  • Robert Klitgaard, Controlling Corruption.
  • OECD, Public Integrity Handbook.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama