HUKUM MUSIK DALAM ISLAM



HUKUM MUSIK DALAM ISLAM

Telaah Dalil, Analisis Ushuliyah, dan Pandangan Ulama Klasik–Kontemporer
Versi Ilmiah Buletin Dakwah Kontemporer


PENGANTAR

Diskursus hukum musik dalam Islam merupakan tema yang panjang, multidisipliner, dan sering kali menghadirkan spektrum pendapat di kalangan ulama. Perdebatan ini merentang dari pembahasan nash Al-Qur’an dan Sunnah, kaidah ushul fikih, maqāṣid al-syarī‘ah, fenomena sosial, hingga perkembangan psikologi musik modern. Dalam sejarah peradaban Islam, musik pernah menjadi bagian dari seni, sastra, pendidikan, dan kebudayaan, namun juga dikritik ketika disalahgunakan sebagai sarana hedonisme dan maksiat.

Tulisan ini akan menyajikan paparan lengkap, akademik, dan komprehensif mengenai hukum musik menurut Islam.


I. DASAR-DASAR DALIL SYAR’I

1. Dalil dari Al-Qur’an

a. QS. Luqmān 31:6

Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia ada orang yang membeli lahw al-ḥadīts (perkataan yang melalaikan) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan.”

Sebagian ulama klasik seperti Ibn Mas‘ūd menafsirkan lahw al-ḥadīts sebagai nyanyian dan musik.[1] Namun sebagian mufassir kontemporer menyatakan bahwa ayat ini bersifat umum, meliputi seluruh bentuk ucapan/suara yang melalaikan dari ketaatan, termasuk musik apabila digunakan untuk maksiat, bukan musik secara mutlak.[2]


b. QS. Al-Isrā’ 17:64

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُم بِصَوْتِكَ
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu.”

Sebagian salaf menafsirkan “suara setan” di sini termasuk alat musik apabila digunakan untuk menyeret manusia menuju maksiat.[3]


2. Dalil dari Hadits

a. Hadits shahih tentang “alat musik”

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat-alat musik.” (HR. al-Bukhārī, ta‘līqan)[4]

Hadits ini menjadi dalil utama ulama yang mengharamkan alat musik secara umum.


b. Hadits tentang rebana (duff) di acara pernikahan

أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (duff) sebagai pengumumannya.” (HR. Tirmidzi)[5]

Hadits ini memberikan pengecualian bahwa rebana dibolehkan pada momen tertentu.


c. Hadits dua gadis kecil bernyanyi di rumah Nabi ﷺ

كَانَتْ عِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ
“Ada dua gadis kecil di rumahku yang sedang menyanyi dengan nyanyian Bu‘ats.” (Muttafaq ‘alaih)[6]

Hadits ini menjadi dasar bagi ulama yang membolehkan musik selama tidak mengandung unsur haram.


II. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA KLASIK

1. Ulama yang Mengharamkan Musik Secara Umum

Mayoritas fuqahā’ dari mazhab Hanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, dan Hanbalī klasik mengharamkan alat musik (kecuali rebana dalam acara tertentu). Tokoh-tokohnya:

a. Ibn Bāz & Ibn ‘Utsaimīn (Hanabilah modern)

  • Musik haram secara mutlak berdasarkan hadits al-ma‘āzif.
  • Setiap bunyi alat musik adalah laghw dan lahw al-ḥadīts.[7]

b. Ibn Taymiyyah

  • Musik menggerakkan syahwat, melemahkan hati, dan menjauhkan dari al-Qur’an.
  • Beliau mengecualikan rebana untuk acara nikah dan hari raya.[8]

c. Al-Ghazālī (syarat ketat, cenderung makruh)

  • Musik tidak haram pada zatnya, tetapi telah menjadi jalan menuju maksiat, sehingga cenderung terlarang.[9]

Argumentasi utamanya:

  1. Hadits al-ma‘āzif (alat musik) bersifat tegas.
  2. Musik dianggap mendorong kelalaian dan syahwat.
  3. Kaidah sadd al-dzarī‘ah (menutup pintu kemaksiatan).

2. Ulama yang Membolehkan Musik dengan Syarat

a. Ibn Hazm (Zhāhirī)

  • Menganggap hadits al-ma‘āzif tidak sah sebagai hujjah.
  • Musik hukumnya mubah, selama tidak mengandung maksiat.[10]

b. Al-Qarāfī (Mālikī)

  • Tidak mengharamkan nyanyian kecuali bila mengandung unsur haram.[11]

c. Ulama Andalusia dan beberapa Syafi’iyyah

  • Musik adalah seni yang bernilai budaya dan tidak haram selama tidak menimbulkan fitnah.

Argumentasi mereka:

  1. Tidak ada nash Al-Qur’an yang tegas mengharamkan musik.
  2. Hadits dua gadis kecil di rumah Aisyah menunjukkan kebolehan.
  3. Kaidah asal segala sesuatu adalah mubah.
  4. Efek musik tergantung konteks, isi, dan penggunaannya.

III. PANDANGAN ULAMA KONTEMPORER

1. Yang Mengharamkan Mayoritas Bentuk Musik

Tokoh:

  • Syaikh Ibn Bāz
  • Syaikh Al-Albānī
  • Syaikh Ibn ‘Utsaimīn
  • Komite Fatwa Saudi (Lajnah Dā’imah)[12]

Alasan kontemporer:

  • Musik modern terkait pergaulan bebas, konser, narkoba, dan pornografisasi.
  • Musik dianggap meninggalkan Al-Qur’an dan melemahkan ruhiyah.

2. Yang Membolehkan Musik dengan Batasan Islami (Pendapat Moderat)

Tokoh:

  • Dr. Yusuf al-Qaradawi
  • Dr. Ali Jum'ah
  • Dr. Wahbah az-Zuhaili
  • Prof. Tariq Ramadan
  • Majelis Ulama Indonesia (sebagian fatwa khusus tentang muatan konten)[13]

Prinsip-prinsip mereka:

  1. Musik bukan haram secara zat, tetapi menjadi haram jika mengandung unsur haram:
    • lirik maksiat
    • aurat terbuka
    • campur baur bebas
    • narkoba dan perbuatan dosa
  2. Musik dapat mendidik, membangun akhlak, dan menenangkan jika diarahkan dengan syariat.
  3. Banyak studi ilmiah membuktikan musik dapat menjadi terapi psikologis dan sarana edukasi.

IV. KLASIFIKASI HUKUM MUSIK MENURUT FIKIH KONTEMPORER

1. Musik yang Diharamkan

  • Musik dengan lirik maksiat (zina, syahwat, provokasi kejahatan).
  • Musik yang dipadukan dengan aurat terbuka, dansa erotis, alkohol, konser maksiat.
  • Musik yang menghalangi kewajiban (sholat, belajar, bekerja).
  • Musik yang memunculkan kecanduan dan kelalaian total.

2. Musik yang Dibolehkan

  • Musik Islami bertema kebaikan.
  • Musik edukatif untuk pembelajaran (anak-anak, pendidikan).
  • Musik terapi (music therapy) yang dibuktikan ilmiah.
  • Rebana/duff dalam pernikahan, hari raya, dan acara syar’i.

3. Musik yang Dianjurkan (Mustahab)

  • Nasyid jihad, motivasi kebaikan, nasihat ruhiyah.
  • Nasyid tanpa alat musik berat dan tanpa kemaksiatan.

V. KESIMPULAN FIKIH

  1. Tidak ada ijma’ mengenai keharaman musik.
  2. Mayoritas ulama klasik mengharamkan alat musik dan membolehkan rebana dengan syarat.
  3. Ulama kontemporer lebih variatif, sebagian mengharamkan, sebagian membolehkan dengan kriteria syar’i.
  4. Kaidah umum:

    الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
    “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”

  5. Hukum musik kembali kepada konten, situasi, dampak, dan tujuan.

CATATAN KAKI (FOOTNOTE)

[1] Tafsir Ibn Mas‘ūd dalam Tafsir al-Tabari, Juz 21.
[2] Tafsir al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, QS. Luqmān ayat 6.
[3] Tafsir Ibn Katsir, QS. Al-Isrā’ 17:64.
[4] Shahih al-Bukhari, Kitāb al-Asyribah, hadits al-ma‘āzif.
[5] Sunan Tirmidzi, Kitāb al-Nikāh.
[6] Shahih Bukhari dan Muslim, Hadits Aisyah tentang dua jariyah.
[7] Majmu’ Fatāwā Ibn Bāz, Bab al-Samā‘.
[8] Ibn Taymiyyah, al-Istiqāmah, dan Majmū‘ al-Fatāwā.
[9] Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kitāb Ādāb al-Samā‘.
[10] Ibn Hazm, al-Muhallā, masalah as-Samā‘.
[11] Al-Qarāfī, al-Furūq, dalam pembahasan seni & adat.
[12] Lajnah Daimah, Fatawa, Jilid 2.
[13] Yusuf al-Qaradawi, al-Halāl wa al-Harām fī al-Islām.


DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
  • Muslim, Shahih Muslim.
  • Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
  • Ibn Hazm, al-Muhallā.
  • Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā.
  • Al-Qarāfī, al-Furūq.
  • Yusuf al-Qaradawi, al-Halāl wa al-Harām fī al-Islām.
  • Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu.
  • Lajnah Daimah, Fatawa.
  • Tafsir al-Tabari, Ibn Katsir, Qurthubi.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama