PERBANDINGAN KECERDASAN AI & KECERDASAN ILAHIYAH



PERBANDINGAN KECERDASAN AI & KECERDASAN ILAHIYAH

Versi Ilmiah Buletin Dakwah Kontemporer
Dilengkapi Footnote & Referensi


Abstrak

Perkembangan Artificial Intelligence (AI) menghadirkan tantangan bagi konsep kecerdasan manusia. AI mampu mengolah data dan membuat prediksi, namun tidak memiliki kesadaran moral, ruh, dan tujuan hidup. Dalam Islam, kecerdasan tertinggi adalah kecerdasan ilahiyah, yaitu kecerdasan manusia yang dibimbing wahyu dan ketakwaan. Artikel ini membandingkan AI dan kecerdasan ilahiyah dalam kerangka epistemologi, moralitas, dan tujuan penciptaan.


1. Pendahuluan

AI tumbuh pesat melalui algoritma dan komputasi. Namun Al-Qur’an menegaskan bahwa kecerdasan tertinggi tetap milik Allah yang menciptakan seluruh makhluk[^1].

Allah berfirman:

﴿فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ﴾
“Mahasuci Allah, sebaik-baik Pencipta.” (QS. Al-Mu’minûn: 14)


2. Definisi Kecerdasan AI dan Kecerdasan Ilahiyah

2.1. Kecerdasan AI (Artificial Intelligence)

Kecerdasan buatan adalah model komputasi yang meniru kemampuan kognitif manusia seperti pengenalan pola, pengambilan keputusan, dan pembelajaran statistik[^2]. Sifat AI:

  • tidak memiliki kesadaran,
  • tidak memahami makna moral,
  • bergantung pada data dan instruksi.

2.2. Kecerdasan Ilahiyah

Kecerdasan ilahiyah adalah kecerdasan manusia yang dibimbing wahyu dan ketakwaan, menggabungkan akal, fitrah, hati nurani, dan petunjuk Allah.

Dalilnya:

﴿وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ﴾
“Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu.” (QS. Al-Baqarah: 282)[^3]


3. Perbandingan Fundamental

3.1. Asal Pengetahuan

Aspek AI Kecerdasan Ilahiyah
Sumber pengetahuan Data, kode, statistik Wahyu, akal, fitrah, hikmah
Keterbatasan Bergantung input dan sistem Bersumber dari Al-‘Alîm (Maha Mengetahui)
Akurasi Tinggi pada pola teknis Tinggi pada kebenaran moral dan hakikat hidup

3.2. Moralitas dan Akhlak

AI tidak memiliki dimensi moral ataupun dosa-pahala. Sementara manusia adalah makhluk bermoral yang dimintai pertanggungjawaban[^4].

Firman Allah:

﴿إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا﴾
“Pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isrâ’: 36)


3.3. Dimensi Spiritual

AI tidak memiliki ruh, sehingga tak memahami nilai ibadah, zikir, atau keikhlasan.
Ketenangan hati hanya milik manusia beriman dengan kecerdasan ilahiyah.

﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)[^5]


3.4. Tujuan Penciptaan

AI diciptakan sebagai alat bantu. Manusia diciptakan untuk ibadah[^6]:

﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ini menegaskan orientasi kecerdasan ilahiyah: dunia sebagai ladang, akhirat sebagai tujuan.


4. Kelebihan AI vs Kelebihan Kecerdasan Ilahiyah

4.1. Kelebihan AI

  1. Kecepatan komputasi sangat tinggi.
  2. Tidak lelah dan stabil.
  3. Konsisten dalam analisis data.
  4. Mengotomatisasi pekerjaan berat.

4.2. Kelebihan Kecerdasan Ilahiyah

  1. Memiliki moral, akhlak, dan nilai.
  2. Memahami hikmah dan tujuan hidup.
  3. Membedakan halal–haram.
  4. Didorong ketakwaan sehingga menghasilkan tindakan mulia.
  5. Terhubung dengan Allah melalui doa dan zikir.

5. Bahaya Mengandalkan AI Tanpa Kecerdasan Ilahiyah

  1. Kehilangan kompas moral — keputusan diambil hanya berdasarkan efisiensi, bukan etika.
  2. Dehumanisasi — manusia tereduksi menjadi angka dan data.
  3. Manipulasi informasi — AI dapat diarahkan pemiliknya untuk propaganda.
  4. Ketergantungan teknologi — lemahnya kemampuan kritis manusia.
  5. Kehilangan orientasi akhirat — manusia mengkultuskan logika digital dan melupakan wahyu.

6. Integrasi: Menggunakan AI dengan Kecerdasan Ilahiyah

AI dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat bila diarahkan oleh kecerdasan ilahiyah melalui:

  • niat yang benar,
  • etika digital,
  • kontrol moral berbasis wahyu,
  • pemanfaatan untuk dakwah dan pendidikan,
  • menjaga syariat dalam konten dan penggunaannya.

Dengan demikian, AI menjadi khadim (pelayan), bukan tuhan baru bagi manusia.


7. Kesimpulan

AI adalah kecerdasan komputasional buatan manusia yang hebat namun tetap terbatas. Kecerdasan ilahiyah adalah bimbingan wahyu yang menjadikan manusia makhluk bermoral, mulia, dan bertujuan. Maka, kecerdasan ilahiyah tidak hanya lebih tinggi, tetapi juga lebih relevan bagi keselamatan hidup dunia–akhirat.


Catatan Kaki (Footnotes)

[^1]: Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, tafsir QS. Al-Mu’minun: 14.
[^2]: Russell & Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, 3rd Edition, 2010.
[^3]: Tafsir al-Qurthubi dan Tafsir As-Sa’di pada QS. Al-Baqarah: 282.
[^4]: Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Bab Muhasabah.
[^5]: Ibn Katsir, tafsir QS. Ar-Ra‘d: 28.
[^6]: Ibn Abbas dalam Tafsir Ath-Thabari, tafsir QS. Adz-Dzariyat: 56.


Daftar Referensi

A. Sumber Islam

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim.
  3. Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan.
  4. Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.
  5. As-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman.
  6. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
  7. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa.

B. Sumber Akademik Modern

  1. Russell, Stuart & Norvig, Peter. Artificial Intelligence: A Modern Approach.
  2. Bostrom, Nick. Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies.
  3. Tegmark, Max. Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence.
  4. Brynjolfsson & McAfee. The Second Machine Age.
  5. Floridi, Luciano. The Ethics of Information.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama