MANUSIA SEMAKIN CERDAS, TETAPI TIDAK SEMAKIN BAHAGIA ATAU BERMORAL


MANUSIA SEMAKIN CERDAS, TETAPI TIDAK SEMAKIN BAHAGIA ATAU BERMORAL

Kajian Ilmiah – Perspektif Al-Qur’an, Sunnah, dan Penelitian Modern


Pendahuluan

Peradaban manusia telah mencapai tingkat kecerdasan yang luar biasa: revolusi digital, kecerdasan buatan (AI), neuroteknologi, dan big data telah mengubah perilaku manusia dan struktur sosial dunia. Namun secara paradoks, peningkatan kecerdasan ini tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan, ketenteraman batin, ataupun keluhuran moral. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Mengapa manusia semakin cerdas, tetapi tidak semakin bahagia atau bermoral?

Dalam kerangka Islam, paradoks ini telah dijelaskan secara kuat melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah: kecerdasan tanpa hidayah adalah kerapuhan; pengetahuan tanpa iman hanya melahirkan kegelisahan dan kesombongan. Nalar manusia mampu menguasai teknologi, namun tidak mampu menumbuhkan kebahagiaan sejati tanpa bimbingan wahyu.


1. Kecerdasan Intelektual yang Tidak Terhubung dengan Iman

Dalam ilmu psikologi modern, kecerdasan intelektual (IQ) berhubungan dengan kemampuan memecahkan masalah dan analisis logis. Namun IQ tidak berkaitan langsung dengan kebahagiaan, kejujuran, atau akhlak. Al-Qur’an telah menggambarkan manusia yang menguasai kecerdasan duniawi tetapi tidak memahami makna hidup yang sebenarnya:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia; sedangkan tentang akhirat mereka lalai.” (QS. Ar-Rūm: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa manusia dapat menjadi sangat ahli dalam sains, teknologi, dan ekonomi, tetapi tetap lalai terhadap makna eksistensinya.
Kecerdasan duniawi tanpa kecerdasan iman adalah ketimpangan. Seorang filsuf Muslim, Al-Ghazali, menyebut fenomena ini sebagai al-jahl al-murakkab — yaitu kebodohan tingkat tinggi: seseorang merasa sangat tahu, padahal tidak mengetahui hakikat dirinya dan Sang Pencipta.[^1]


2. Mengapa Semakin Cerdas Tidak Semakin Bahagia?

2.1. Kecerdasan Tinggi Memperkuat Overthinking

Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa individu dengan kecerdasan tinggi cenderung mengalami rumination (mengulang-ulang pikiran) dan kecemasan eksistensial lebih hebat daripada individu biasa.[^2] Semakin mampu seseorang menganalisis, semakin besar kemungkinan otaknya memproses berbagai skenario negatif.

Dalam perspektif Islam, hati yang jauh dari Allah menjadi sumber utama kecemasan. Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
“Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, niscaya baginya kehidupan yang sempit.” (QS. Ṭāhā: 124)

Semakin tinggi kecerdasan, semakin besar ruang bagi pikiran untuk bekerja tanpa arah, sehingga semakin besar pula kegelisahan batin.


2.2. Overstimulasi Dopamin dan Kebahagiaan Semu

Kemajuan teknologi membuat manusia hidup dalam lautan rangsangan visual dan informasi. Neurosains modern menunjukkan bahwa konsumsi media digital berlebihan memicu dopamine overload yang menurunkan sensitivitas terhadap kebahagiaan alami.[^3]

Hasilnya: orang tampak terhibur, tetapi jiwanya lelah.

Kebahagiaan dalam Islam bukan berasal dari rangsangan inderawi, tetapi dari ketenangan hati yang terhubung kepada Allah:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)


2.3. Kecerdasan Menumbuhkan Perfeksionisme Berlebihan

Banyak survei menunjukkan bahwa kecerdasan tinggi berkaitan dengan standar perfeksionisme yang tidak realistis. Perfeksionisme inilah yang memicu stres, ketidakpuasan, dan tekanan jiwa.

Islam melarang manusia memaksakan beban di luar kemampuannya:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Semakin cerdas, semakin besar risiko seseorang melampaui batas psikologisnya.


3. Mengapa Semakin Cerdas Tidak Semakin Bermoral?

3.1. Akal Tidak Diciptakan sebagai Penentu Moral Mutlak

Akal hanya mampu menentukan apa yang logis, bukan apa yang benar secara moral. Tanpa wahyu, moral menjadi relatif, berubah mengikuti kepentingan dan hawa nafsu.

Imam Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa akal adalah alat, bukan sumber hukum moral. Tanpa wahyu, akal tidak dapat menetapkan standar baik dan buruk secara absolut.[^4]

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad)

Artinya, moralitas sempurna hanya lahir melalui wahyu.


3.2. Kecerdasan yang Melahirkan Kesombongan

Kecerdasan tanpa iman melahirkan arogan. Fir’aun adalah contoh historis:

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
“Lalu ia berkata: ‘Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.’” (QS. An-Nāzi‘āt: 24)

Kemajuan ilmu pengetahuan masa kini juga melahirkan “Fir’aun modern”:
mereka yang menganggap agama sebagai hambatan, menolak nilai ruhani, dan memuja kemampuan manusia sebagai puncak peradaban.


3.3. Kecerdasan Melahirkan Kejahatan yang Semakin Canggih

Dalam era digital, kejahatan berkembang mengikuti kecerdasan teknologi:

  • deepfake untuk penipuan,
  • rekayasa algoritma untuk memanipulasi emosi massa,
  • pencucian uang canggih,
  • pemanfaatan AI untuk serangan siber,
  • propaganda berbasis data psikologis.

Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kecerdasan tinggi bahkan lebih mampu memanipulasi orang lain untuk tujuan tidak bermoral.[^5]


4. Paradigma Islam: Kecerdasan yang Dibingkai oleh Wahyu

4.1. Akal sebagai Amanah dan Alat, Bukan Penentu Kebenaran Mutlak

Allah memberikan akal sebagai alat memahami wahyu, bukan menggantikannya.
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa akal tanpa wahyu seperti mata tanpa cahaya.[^6]


4.2. Taqwa sebagai Sumber Kebahagiaan Sejati

Allah menjamin kehidupan yang baik bagi orang yang beriman dan beramal saleh:

فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Sungguh Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)

Kecerdasan membuat manusia cepat berkembang, tetapi hanya taqwa memastikan arah yang benar.


4.3. Iman sebagai Kompas Moral

Wahyu memberi tiga fondasi moral:

  1. Standar benar-salah (al-haqq dan al-bāṭil)
  2. Pengendalian hawa nafsu
  3. Kesadaran pertanggungjawaban di hadapan Allah

Tanpa tiga hal ini, kecerdasan hanya memperkuat kemampuan seseorang untuk melakukan kejahatan.


5. Sintesis Ilmiah: Rekonsiliasi Kecerdasan dan Wahyu

Dalam pendekatan neurosains dan teologi Islam, kebahagiaan sejati memerlukan integrasi:

1. Akal (IQ)

Kemampuan analitis, pemecahan masalah, kreativitas.

2. Emosi (EQ)

Kesadaran diri, empati, stabilitas psikologis.

3. Ruhani (SQ – Spiritual Quotient)

Pemahaman makna, koneksi dengan Allah, moralitas.

Ilmu modern mengakui bahwa IQ hanya menyumbang ±20% dari keberhasilan dan kesejahteraan psikologis seseorang.[^7] Islam menegaskan pula bahwa akal harus dibingkai oleh iman agar menjadi cahaya dan petunjuk.


Kesimpulan

Manusia semakin cerdas, tetapi tidak semakin bahagia atau bermoral, karena kecerdasan tidak pernah dirancang menjadi sumber kebahagiaan maupun moralitas. Kebahagiaan justru berakar dari iman dan kedekatan dengan Allah, sedangkan moralitas hanya dapat tumbuh dari wahyu.

Kecerdasan + Iman = Kebijaksanaan
Kecerdasan – Iman = Bencana moral dan spiritual

Buletin dakwah kontemporer perlu terus menegaskan bahwa peradaban hanya akan selamat ketika kecerdasan dibimbing oleh wahyu dan manusia kembali kepada nilai ketuhanan sebagai inti kebahagiaan.


CATATAN KAKI

[^1]: Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
[^2]: A. S. Kaufman (2016). Intelligence and anxiety: The paradox of gifted minds. Journal of Psychology & Education.
[^3]: Anna Lembke (2021). Dopamine Nation: Finding Balance in the Age of Indulgence.
[^4]: Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql, Riyadh: Maktabah ar-Rushd.
[^5]: Jonason, P. K. (2014). "Intelligence and manipulation: The dark triad and cognitive ability." Personality and Individual Differences.
[^6]: Ibn al-Qayyim, Miftah Dar as-Sa‘adah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
[^7]: Daniel Goleman (1995). Emotional Intelligence, New York: Bantam Books.


DAFTAR PUSTAKA (REFERENSI)

Sumber Islam

  • Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din.
  • Ibn Taymiyyah. Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql.
  • Ibn al-Qayyim. Miftah Dar as-Sa‘adah.
  • Tafsir Ibn Kathir.
  • Shahih Bukhari & Muslim.
  • Musnad Ahmad.

Sumber Modern

  • Goleman, Daniel. Emotional Intelligence.
  • Lembke, Anna. Dopamine Nation.
  • Kaufman, Scott Barry. Ungifted: Intelligence Redefined.
  • Journal of Personality and Social Psychology.
  • Journal of Neuroscience and Behavioral Reviews.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama