Jebakan Kemewahan dan Popularitas bagi Pendakwah
Kajian Akademik Buletin Dakwah Kontemporer
Abstrak
Artikel ini menganalisis dua jebakan utama yang sering menimpa pendakwah kontemporer: kemewahan dan popularitas. Menggunakan pendekatan integratif antara sumber klasik (al-Qur’an, hadis, dan literatur ulama) dan kajian kontemporer (psikologi moral, neurosains, dan studi media), tulisan ini menunjukkan bagaimana dua faktor tersebut dapat membentuk distorsi dakwah, melemahkan keikhlasan, dan menciptakan ketergantungan psikologis pada validasi publik. Studi ini menegaskan bahwa dakwah harus dikembalikan pada paradigma integratif: ilmu, ketakwaan, kesederhanaan, dan akhlak.
1. Pendahuluan
Fenomena naiknya pendakwah sebagai figur publik di era digital memperlihatkan kemungkinan besar terjadinya pergeseran orientasi dakwah. Dengan meningkatnya konsumsi konten keagamaan di media sosial, banyak pendakwah menjadi celebrity preachers yang menggabungkan antara dakwah, komersialisasi, dan pencitraan diri.[1]
Meskipun perkembangan ini dapat memperluas jangkauan dakwah, ia juga menimbulkan risiko: kemewahan sebagai gaya hidup dan popularitas sebagai komoditas psikologis dan sosial. Keduanya dapat membentuk distorsi dakwah jika tidak ditopang oleh ilmu, tazkiyatun-nafs, dan orientasi tauhid yang kuat.
2. Kemewahan sebagai Jebakan Psikologis dan Moral
2.1 Perspektif Teologis
Al-Qur’an memperingatkan secara eksplisit agar manusia tidak menetapkan standar kebahagiaan pada kemewahan dunia:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ
“Dan janganlah engkau panjangkan pandanganmu terhadap apa yang Kami berikan sebagai kesenangan kepada beberapa golongan dari mereka.” (QS Ṭaha: 131)[2]
Ayat ini menegaskan bahwa orientasi dakwah tidak boleh didominasi oleh standardisasi sosial berupa harta, fasilitas, ataupun gengsi.
Ulama seperti Ibn Katsir dan Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini bertujuan menjaga kemurnian jiwa dai agar tidak terpalingkan oleh simbol duniawi.[3]
2.2 Perspektif Psikologi Moral
Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa kemewahan memicu materialistic value orientation, yang menurunkan empati, menurunkan sensitivitas moral, dan meningkatkan kecenderungan self-focused.[4]
Bagi pendakwah, kondisi ini dapat menyebabkan:
- berkurangnya kepekaan melihat penderitaan umat
- meningkatnya perhatian pada status sosial
- menguatnya kebutuhan mempertahankan gaya hidup yang tidak proporsional dengan fungsi keulamaan
2.3 Efek Neurologis Kemewahan
Neurosains menjelaskan bahwa paparan kemewahan yang berulang memicu activation of reward circuitry (dopamine pathway), sehingga seseorang secara tidak sadar mengejar pengulangan pengalaman tersebut.[5]
Bagi pendakwah, ini bisa menciptakan:
- ketergantungan terhadap fasilitas mewah
- preferensi memilih undangan yang lebih menguntungkan secara finansial
- hilangnya sifat zuhud dan qana‘ah yang menjadi identitas dakwah klasik
3. Popularitas: Nikmat yang Berubah Menjadi Ketergantungan
3.1 Perspektif Hadis
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ...
“Kecintaan pada harta dan kedudukan lebih merusak agama seseorang daripada dua serigala lapar pada sekawanan kambing.” (HR Tirmidzi)[6]
Popularitas termasuk bagian dari kedudukan (الشرف) yang dapat merusak agama jika menjadi tujuan.
3.2 Popularitas sebagai Komoditas Psikologis
Dalam kajian psikologi modern, popularitas menciptakan dopamine-driven validation loop, di mana seseorang menjadi sangat bergantung pada:
- komentar positif
- apresiasi publik
- jumlah penonton
- jumlah pengikut
Penelitian Alter menunjukkan bahwa popularitas di media sosial dapat menjadi addictive behavior yang sifatnya sama dengan kecanduan perilaku digital lainnya.[7]
3.3 Distorsi Ilmiah yang Ditimbulkan Popularitas
Popularitas dapat menggeser epistemologi dakwah dari:
- berbasis ilmu → menjadi berbasis selera pasar
- berbasis kebenaran → menjadi berbasis sensasi
- berbasis amar ma‘ruf nahi munkar → menjadi berbasis “aman bagi citra”
Fenomena ini telah dibuktikan dalam studi komunikasi Islam yang menunjukkan bahwa banyak pendakwah kontemporer menghindari tema sensitif (riba, kesyirikan, bid‘ah, moral publik) demi menjaga engagement.[8]
4. Interaksi Kemewahan & Popularitas: Lingkaran Setan
Dua jebakan ini saling memperkuat:
1. Popularitas membuka jalan ke kemewahan
Pendapatan meningkat, tawaran sponsor bertambah, dan fasilitas mewah berdatangan.
2. Kemewahan memperkuat kebutuhan mempertahankan popularitas
Semakin tinggi gaya hidup, semakin besar kebutuhan untuk menjaga jumlah undangan, sponsor, penonton, dan citra publik.
3. Keduanya mengikis keikhlasan
Ketika niat bercampur antara Allah dan manusia, amalan menjadi rapuh (QS Al-Kahfi: 110).
5. Standar Dakwah Akademik: Mengontrol Jebakan Dunia
5.1 Tazkiyatun-Nafs
Ghazali menegaskan bahwa ikhlas adalah amalan hati tersulit, dan musuh terberat dai adalah dirinya sendiri.[9]
5.2 Reorientasi Dakwah kepada Allah
Dalil:
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (QS Az-Zumar: 11)[10]
Fokus dakwah harus tauhid-sentris, bukan self-branding-sentris.
5.3 Menyatukan Ilmu, Akhlak, dan Keteladanan
Para ulama klasik menegaskan bahwa dakwah bukan hanya qaulan, tetapi halan — keteladanan hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, dan tidak mengejar pujian manusia.
5.4 Menentukan Etika Keuangan Dakwah
Pendakwah ideal harus:
- transparan dalam menerima honorarium
- tidak berorientasi pada tarif
- menolak sponsor yang berpotensi mempengaruhi independensi ilmiah
- hidup seminimal mungkin agar dakwah tetap murni
5.5 Menggunakan Popularitas sebagai Sarana, bukan Tujuan
Popularitas adalah sarana amplifikasi dakwah. Ketika popularitas menjadi tujuan, maka ia berubah menjadi ibadah kepada pandangan publik (عبادة الشهرة).
6. Kesimpulan
Kemewahan dan popularitas merupakan dua jebakan besar yang dapat mengikis keikhlasan pendakwah modern. Nilai-nilai dakwah harus dikembalikan pada integritas ilmiah, kesederhanaan, dan ketakwaan. Pendakwah harus senantiasa menyadari bahwa dunia digital memberikan peluang besar, tetapi juga mengandung potensi ketergelinciran yang jauh lebih besar. Dengan menggabungkan ilmu syar‘i, etika keulamaan, dan kesadaran psikologis, pendakwah dapat menunaikan amanah dakwah secara lebih murni, kokoh, dan ilmiah.
Catatan Kaki
[1] Syarif, F. “Digital Da‘wah and the Rise of Celebrity Preachers.” Indonesian Journal of Islamic Studies, 2021.
[2] QS Ṭāhā: 131.
[3] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Tafsir QS Ṭaha: 131.
[4] Burroughs & Rindfleisch, “Materialism and Well-being,” Journal of Consumer Research, 2002.
[5] Goleman, Daniel. Focus: The Hidden Driver of Excellence. HarperCollins, 2013.
[6] Sunan at-Tirmidzi no. 2376.
[7] Alter, Adam. Irresistible: The Rise of Addictive Technology. Penguin Press, 2017.
[8] Hasan, Muhammad. “The Commercialization of Religion in Modern Media.” Journal of Islamic Communication Studies, 2020.
[9] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, Bab Ikhlas.
[10] Tafsir Al-Qurtubi, QS Az-Zumar: 11.
Daftar Pustaka
Sumber Klasik
- Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulumiddin.
- Ibn Katsir, Ismail. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
- Ibn al-Qayyim. Madaarij as-Saalikin.
- As-Sa‘di, Abdurrahman. Taisir al-Karim ar-Rahman.
- Al-Qurtubi, Abu Abdullah. Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an.
- At-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa. Sunan at-Tirmidzi.
Sumber Kontemporer
- Alter, Adam. Irresistible: The Rise of Addictive Technology. Penguin Press, 2017.
- Burroughs, J. & Rindfleisch, A. “Materialism and Well-being.” Journal of Consumer Research, 2002.
- Goleman, Daniel. Focus: The Hidden Driver of Excellence. HarperCollins, 2013.
- Hasan, Muhammad. “The Commercialization of Religion in Modern Media.” Journal of Islamic Communication Studies, 2020.
- Syarif, F. “Digital Da‘wah and Celebrity Preachers.” Indonesian Journal of Islamic Studies, 2021.
- Qardhawi, Yusuf. Al-Ikhlas wal-‘Amal li Wajhillah.


Posting Komentar