DAKWAH PASAR LEBIH LAKU DARIPADA DAKWAH WAHYU



DAKWAH PASAR LEBIH LAKU DARIPADA DAKWAH WAHYU

Tinjauan Ilmiah Dakwah Kontemporer

Pendahuluan

Fenomena “dakwah pasar” (market-driven da‘wah) menjadi salah satu tantangan terbesar dakwah kontemporer. Dakwah jenis ini berorientasi pada selera audiens, analitik media sosial, algoritma, dan popularitas, sehingga kontennya disesuaikan agar “laris dan viral”. Sebaliknya, dakwah wahyu (revelation-driven da‘wah) berorientasi pada Al-Qur’an, Sunnah, dan amanah ilmiah, meskipun tidak selalu populer.

Dalam konteks modern, terjadi pergeseran preferensi masyarakat: konten yang ringan, lucu, motivasional, sensasional, atau emosional jauh lebih cepat diterima daripada dakwah yang mengajak kepada ketaatan, koreksi diri, dan komitmen syariat.


1. Definisi dan Karakter Dakwah Pasar vs Dakwah Wahyu

1.1 Dakwah Pasar (Market-Driven Da‘wah)

Dakwah pasar ditandai oleh ciri-ciri berikut:

  1. Berorientasi pada “engagement”, bukan kebenaran.
  2. Konten dipilih sesuai permintaan audiens, bukan kebutuhan iman.
  3. Minim kritik terhadap kemungkaran, karena dianggap mengurangi like/followers.
  4. Menghindari tema berat seperti tauhid, adab, atau bahaya syirik.
  5. Pendakwah dijadikan influencer, bukan murabbi ruhani.

Model ini bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an yang menekankan bahwa kebenaran sering kali tidak diminati mayoritas manusia:

﴿ وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ﴾
“Jika engkau mengikuti mayoritas manusia di bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Al-An‘ām: 116) [1]

Ayat ini menjadi kritik langsung terhadap dakwah yang mengikuti selera massa.


1.2 Dakwah Wahyu (Revelation-Driven Da‘wah)

Dakwah wahyu berkarakter:

  1. Berbasis teks Al-Qur’an dan Sunnah.
  2. Menjaga amanah ilmiah, bukan mengejar popularitas.
  3. Mengoreksi penyimpangan, meskipun tidak disukai publik.
  4. Menanamkan tauhid, adab, dan tazkiyah.
  5. Pendakwah berperan sebagai pewaris Nabi, bukan entertainer.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan bahwa dakwah yang benar sering tidak disenangi:

﴿ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴾
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Yusuf: 21) [2]


2. Mengapa Dakwah Pasar Lebih “Laku”?

2.1 Sifat dasar manusia yang menyukai kemudahan

Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia cenderung menghindari kebenaran yang berat:

﴿ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ﴾
“Diwajibkan atas kalian jihad (perjuangan), padahal itu kalian benci.” (QS Al-Baqarah: 216) [3]

Ajaran yang mengharuskan komitmen sering tidak disukai, sehingga masyarakat lebih memilih dakwah yang ringan dan menyenangkan.

2.2 Budaya digital: cepat, dangkal, menghibur

Media sosial didesain untuk mempromosikan konten yang:

  • mudah dicerna,
  • emosional,
  • menghibur,
  • kontroversial.

Sementara dakwah wahyu memerlukan tadabbur, ketaatan, dan kesabaran, yang tidak sejalan dengan kultur digital.

2.3 Munculnya fenomena "ustadz selebritas"

Sebagian pendakwah menyesuaikan konten agar diterima pasar:

  • menghindari tema syirik, bid‘ah, atau penyimpangan,
  • menggunakan gaya lawakan atau drama,
  • memberikan motivasi tanpa tazkiyatun nafs.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan fenomena pendakwah yang menyimpang:

قال رسول الله ﷺ: «إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ»
“Yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Tirmiżī, no. 2229) [4]


3. Konsekuensi Dakwah Berbasis Pasar

3.1 Hilangnya standar ilmiah dan otoritas ulama

Konten yang laris tidak selalu benar. Akhirnya:

  • fatwa digantikan opini personal,
  • syariat digantikan motivasi,
  • ulama tergantikan influencer.

3.2 Melemahnya komitmen tauhid dan ibadah

Ketika dakwah hanya menenangkan tanpa mengoreksi, umat menjadi:

  • alergi terhadap nasihat,
  • enggan ditegur,
  • memilih ustadz yang “nyaman di hati”.

Padahal Allah menegaskan:

﴿ وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ ﴾
“Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (QS Adz-Dzāriyāt: 55) [5]

3.3 Normalisasi kemungkaran

Ketika dakwah fokus pada pasar, mengkritik dosa dianggap tidak marketable.
Akhirnya:

  • maksiat dianggap “pilihan hidup”,
  • kemewahan dipromosikan sebagai “rezeki”,
  • moralitas digantikan estetika.

4. Strategi Mengembalikan Dakwah kepada Wahyu

  1. Penguatan literasi Al-Qur’an dan Sunnah bagi masyarakat.
  2. Produksi konten dakwah berkualitas tinggi yang tetap ilmiah namun komunikatif.
  3. Peran lembaga dakwah untuk menyaring dan membina pendakwah.
  4. Menegaskan otoritas ulama sebagai rujukan utama.
  5. Penggunaan teknologi dengan prinsip syariah, bukan prinsip pasar.

Kesimpulan

Dakwah pasar memang “lebih laku”, tetapi tidak lebih benar, tidak lebih berkah, dan tidak lebih menyelamatkan. Kualitas dakwah tidak diukur dari jumlah likes, melainkan dari kesesuaiannya dengan wahyu.

Rasulullah ﷺ telah menegaskan bahwa dakwah sejati akan diuji, tidak selalu populer, tetapi itulah jalan para nabi.


Footnote

[1] Al-Qur’an, QS Al-An‘ām: 116.
[2] Al-Qur’an, QS Yusuf: 21.
[3] Al-Qur’an, QS Al-Baqarah: 216.
[4] HR. Tirmiẓī, Sunan Tirmiẓī, no. 2229.
[5] Al-Qur’an, QS Adz-Dzāriyāt: 55.


Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.
  • Ath-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān.
  • Al-Baghawi, Ma‘ālim at-Tanzīl.
  • As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsūr.
  • Al-Albani, Silsilah al-Ahādīṡ aṣ-Ṣaḥīḥah.
  • Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.
  • Qardhawi, Yusuf. Fiqh ad-Da‘wah.
  • Sa‘id Hawwa. Tarbiyah ar-Rūḥiyyah.
  • Lickerman, Alex. The Undefeated Mind.
  • Castells, Manuel. Networks of Outrage and Hope.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama