JANGAN JEMU BERKARYA UNTUK AGAMA MESKIPUN TIDAK VIRAL



JANGAN JEMU BERKARYA UNTUK AGAMA MESKIPUN TIDAK VIRAL

Versi Ilmiah Buletin Dakwah Kontemporer


Abstrak

Era digital memberi peluang besar bagi penyebaran dakwah, tetapi juga menciptakan ilusi bahwa nilai sebuah kebaikan ditentukan oleh jumlah viewer, like, dan viralitas. Padahal di sisi Allah, amal dihitung berdasarkan keikhlasan, bukan ketenaran. Tulisan ini menguraikan urgensi istiqamah berkarya untuk agama meskipun tidak viral, berdasarkan dalil Al-Qur’an, Sunnah, dan analisis ulama klasik serta kontemporer.


Pendahuluan

Fenomena “karya baik tapi tidak viral dianggap sia-sia” adalah gejala sosial yang muncul akibat budaya popularitas di media sosial. Banyak pendakwah, penulis, dan pembuat konten dakwah merasa patah semangat ketika karya mereka tidak mendapatkan perhatian luas.

Padahal Islam menegaskan bahwa:

  • Nilai amal ditentukan oleh ikhlas (العمل بالنية لا بالنتيجة).
  • Allah menilai proses meskipun hasilnya tidak terlihat oleh manusia.
  • Sebaik-baik amal adalah yang kontinu, bukan yang populer.

Karena itu, karya dakwah sejati tidak diukur oleh “viral”, melainkan oleh ridha Allah dan manfaat hakiki bagi umat.


Dalil-Dalil Syar‘i


1. Allah Melihat Kualitas Amal, Bukan Viralnya

a. QS. Al-Mulk: 2

﴿ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ﴾
“Dia menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.”

Ibn Katsir menjelaskan:
“Yang dimaksud adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar, bukan yang paling banyak atau paling tampak oleh manusia.”[^1]


2. Amal Sedikit tapi Istiqamah Lebih Dicintai Allah

Hadits Bukhari-Muslim

« أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ »
“Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang paling kontinu, meskipun sedikit.”[^2]

Viral biasanya cepat muncul dan cepat hilang. Namun amal yang kontinu meski tidak populer lebih berat di sisi Allah.


3. Karya Kecil Bisa Lebih Berat dari Amalan Besar

Hadits Bukhari

« رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ »
“Bisa jadi amal kecil tetapi menjadi besar karena niatnya.”[^3]

Artinya, sebuah tulisan pendek, video singkat, atau nasihat sederhana yang tidak viral bisa bernilai raksasa di sisi Allah jika diniatkan ikhlas.


4. Orang Tergolong Mukmin Kuat Jika Tidak Mudah Patah Semangat

Hadits Muslim

« الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ… »
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah…”[^4]

Karya dakwah membutuhkan kekuatan mental, termasuk mengalahkan rasa kecewa karena tidak viral.


5. Dakwah Para Nabi Tidak Selalu Viral

Nabi Nuh عليه السلام berdakwah selama 950 tahun, tetapi pengikutnya hanya sedikit.

Firman Allah:

﴿ وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ ﴾
“Dan tidak ada yang beriman bersamanya kecuali sedikit.” (QS. Hud: 40)

Nabi bukan mengejar viral, tapi ridha Allah.


Fenomena Kontemporer: Ketika Popularitas Menjadi Ibadah Baru

1. “Viralitas” Sebagai Tolak Ukur Kebenaran

Banyak pendakwah menilai keberhasilan dari jumlah view, bukan kualitas konten. Ini disebut para sosiolog digital sebagai digital validation dependency—ketergantungan validasi dari layar, bukan dari Allah.

2. Algoritma Media Sosial dan Ilusi Pengaruh

Algoritma memprioritaskan:

  • sensasi
  • kontroversi
  • hiburan
  • konflik
    lebih daripada ilmu.

Konten dakwah yang ilmiah dan serius cenderung tidak se-viral konten ringan.

3. Kelelahan Psikologis Pendakwah

Fenomena ini melahirkan:

  • Dakwah burnout
  • merosotnya keikhlasan
  • munculnya konten dakwah manipulatif demi viral

Padahal dakwah sejati tidak boleh tunduk pada logika pasar.


Analisis: Mengapa Kita Harus Tetap Berkarya Meski Tidak Viral


1. Amal Kecil Tapi Konsisten Lebih Mengubah Umat

Perubahan sosial tidak terjadi lewat viralitas sesaat, melainkan lewat karya ilmiah yang terus-menerus.


2. Viral Belum Tentu Bermanfaat

Banyak konten viral justru merusak:

  • memecah belah
  • menyebar kebencian
  • menyesatkan masyarakat

Sedangkan karya baik yang tidak viral tetap:

  • mendidik
  • membina
  • menenangkan
  • menambah iman

3. Para Ulama Besar Tidak Mengejar Popularitas

Karya klasik para ulama seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, An-Nawawi pada masa hidup mereka tidak “viral” seperti era sekarang. Namun barakah keikhlasan membuat karya mereka hidup selama berabad-abad.


4. Viral Tidak Menjamin Pahala

Bisa jadi:

  • video dakwah mencapai 10 juta view → 0 pahala karena riya
  • tulisan yang dibaca 10 orang → pahalanya mengalir hingga hari kiamat

Solusi & Panduan Praktis agar Tetap Semangat Berkarya


1. Luruskan Niat Setiap Memulai Karya

Niatkan:

  • mencari ridha Allah
  • memberi manfaat
  • menambah ilmu diri sendiri
  • bukan demi engagement atau popularitas

2. Tentukan Target Ilmiah, Bukan Target Viral

Contoh target sehat:

  • menyebarkan ilmu yang sahih
  • meluruskan pemahaman
  • memperbaiki akhlak masyarakat
  • menambah kualitas ibadah pembaca

3. Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas

Konten berkualitas akan bertahan, konten viral cepat hilang.


4. Bangun Jaringan Ilmiah, Bukan Komunitas Fans

Ajak sesama pendakwah untuk saling menguatkan, bukan saling bersaing angka algoritma.


5. Berdoa Meminta Keikhlasan

Doa Nabi ﷺ:
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الشِّرْكِ مَا عَلَمْتُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ »
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syirik yang aku ketahui dan tidak aku ketahui.”[^5]


Kesimpulan

Berkarya untuk agama tidak boleh bergantung pada jumlah penonton atau viralitas. Allah memandang keikhlasan, kesungguhan, dan kontinuitas. Karya yang tidak viral di bumi bisa jadi sangat viral di langit, dicatat oleh para malaikat, dan memberi manfaat besar pada hari kiamat.

Teruslah berkarya, meskipun tidak viral — karena Allah pasti melihatnya.


Footnote

[^1]: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, tafsir surah al-Mulk ayat 2.
[^2]: HR. Bukhari no. 6464; Muslim no. 783.
[^3]: Diriwayatkan dalam al-Bayhaqi, Syu'ab al-Iman.
[^4]: HR. Muslim no. 2664.
[^5]: HR. Ahmad dalam Musnad, no. 27830.


Daftar Pustaka (Referensi)

  1. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
  2. Muslim, Shahih Muslim.
  3. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim.
  4. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
  5. An-Nawawi, Riyadhus Shalihin.
  6. Al-Bayhaqi, Syu'ab al-Iman.
  7. Qardhawi, Yusuf. Fiqh al-Da‘wah.
  8. Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi, dan Liberalisme.
  9. Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (untuk analisis digital kontemporer).


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama