Hukum Mengikuti Imam yang Tidak Disukai Karena Kurang Fasih, Munafik, dan Fasik


Hukum Mengikuti Imam yang Tidak Disukai karena Kurang Fasih, Munafik, dan Fasik

Pendahuluan

Dalam kehidupan masyarakat Muslim modern, sering muncul perdebatan mengenai boleh atau tidaknya makmum mengikuti imam salat yang dianggap tidak layak—karena kurang fasih dalam bacaan, dikenal munafik, atau fasik (pelaku dosa besar). Persoalan ini bukan hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah, tetapi juga dengan etika sosial dan ukhuwah Islamiyah dalam menjaga keutuhan jamaah.

---

1. Dalil Al-Qur’an dan Hadis

Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:

«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kamu.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 59)»

Ayat ini menjadi dasar bahwa kepemimpinan, termasuk dalam salat berjamaah, tetap dihormati selama tidak menyalahi prinsip agama secara terang-terangan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَؤُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka (para imam) akan mengimami kalian. Jika mereka benar maka (pahala) untuk kalian dan mereka; jika mereka salah maka (pahala) tetap untuk kalian dan dosa atas mereka.”
(HR. al-Bukhārī, no. 694)»

Hadis ini menunjukkan bahwa kesalahan atau keburukan pribadi imam tidak menggugurkan sahnya salat makmum selama imam masih menegakkan syarat dan rukun salat.

---

2. Pandangan Ulama Fikih

a. Mazhab Hanafi

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa salat di belakang imam fasik tetap sah, tetapi hukumnya makruh tahrim (sangat dibenci). Karena fasik adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketakwaan, namun tidak otomatis membatalkan imamah kecuali kekufuran terbukti nyata (Ibn ‘Ābidīn, Radd al-Muḥtār, 1/563).

b. Mazhab Maliki

Menurut Imam Malik, salat di belakang imam fasik hukumnya makruh, tetapi tidak perlu diulang kecuali jika imamnya terang-terangan menolak hukum Allah (al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 2/231).

c. Mazhab Syafi‘i

Imam an-Nawawi dalam al-Majmū‘ (4/191) menegaskan: “Salat di belakang imam fasik atau ahli bid‘ah tetap sah, namun hukumnya makruh jika memungkinkan mencari imam yang lebih baik.”

d. Mazhab Hanbali

Ulama Hanbali seperti Ibnu Qudāmah menyatakan: “Tidak disyaratkan keadilan imam, tetapi lebih utama memilih yang paling bertakwa dan baik bacaannya.” (al-Mughnī, 2/17)

---

3. Analisis Kontemporer

Dalam konteks modern, persoalan imam yang tidak disukai sering muncul karena:

- Kurang fasih bacaan Al-Qur’an, padahal masih sah secara tajwid minimal.
- Fasik sosial: terlibat dalam praktik korupsi, kedzaliman, atau perilaku buruk.
- Munafik perilaku: tampak beriman tetapi tidak mengamalkan nilai Islam.

Para pakar fiqih kontemporer, seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-‘Ibādāt, menegaskan bahwa kriteria utama imam adalah sahnya salatnya sendiri. Selama imam tidak membatalkan salatnya karena kesalahan akidah atau rukun, maka sah pula salat makmumnya. Namun umat wajib menasihati dan memperbaiki keadaan dengan hikmah, bukan menimbulkan perpecahan jamaah.

---

4. Dampak Sosial dan Moral

Menolak imam hanya karena faktor pribadi tanpa dasar syar‘i akan menimbulkan fitnah, pecahnya jamaah, dan rusaknya ukhuwah. Padahal Rasulullah ﷺ sangat menekankan pentingnya menjaga persatuan:

«إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)»

---

5. Solusi dan Etika Jamaah

1. Memilih imam yang terbaik jika memungkinkan, berdasarkan kriteria Rasulullah ﷺ: paling fasih, paling paham sunnah, dan paling bertakwa (HR. Muslim, no. 673).
2. Menasehati imam dengan hikmah, bukan mencela secara terbuka (QS. an-Naḥl [16]:125).
3. Menjaga ukhuwah jamaah, karena perpecahan lebih buruk daripada kekurangan individu.
4. Melakukan pelatihan tajwid dan akhlak bagi calon imam, agar kualitas ibadah jamaah meningkat.

---

Kesimpulan

Mengikuti imam yang kurang fasih, munafik, atau fasik tetap sah secara hukum fiqih selama syarat dan rukun salat terpenuhi. Namun, hukumnya makruh dan sebaiknya dihindari bila ada imam yang lebih baik. Umat Islam harus bijak dalam menilai dan memperbaiki, bukan menghukum dengan kebencian. Menjaga jamaah tetap utuh lebih utama daripada memenangkan ego pribadi.

---

Daftar Pustaka / Footnote

1. Al-Qur’an al-Karīm, QS. An-Nisā’ [4]: 59.
2. al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 694.
3. Ibn ‘Ābidīn, Radd al-Muḥtār ‘alā ad-Durr al-Mukhtār, Beirut: Dār al-Fikr, 2000.
4. al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kutub, 1993.
5. an-Nawawi, al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, Beirut: Dār al-Fikr, 1997.
6. Ibn Qudāmah, al-Mughnī, Riyadh: Dār ‘Ālam al-Kutub, 1992.
7. Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-‘Ibādāt fī Ḍau’ al-Qur’an wa as-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005.
8. Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 673.
9. al-Qur’an, QS. an-Naḥl [16]:125.

---


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama