HUKUM KEPALA DAERAH MEMINTA FEE PROYEK: PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA
(Versi Artikel Ilmiah Buletin Dakwah)
---
Pendahuluan
Fenomena kepala daerah meminta fee proyek dari kontraktor atau pengusaha bukan lagi hal baru di berbagai daerah. Praktik ini sering dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, suap, dan gratifikasi. Dalam pandangan Islam, tindakan semacam ini bukan hanya pelanggaran hukum positif, tetapi juga merupakan bentuk ghulul (pengkhianatan terhadap amanah publik). Artikel ini mengupas secara ilmiah dari perspektif syariat Islam dan hukum Republik Indonesia.
---
Definisi Fee Proyek
Secara umum, fee proyek berarti imbalan atau sejumlah uang yang diberikan oleh pihak pelaksana proyek (biasanya kontraktor) kepada pejabat atau kepala daerah yang memiliki kewenangan dalam penentuan proyek atau alokasi anggaran. Dalam praktiknya, fee sering disamarkan sebagai “uang terima kasih”, “komitmen”, atau “biaya koordinasi”. Namun secara substansi, hal ini merupakan bentuk suap karena diberikan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dalam proses tender atau pelaksanaan proyek.
Menurut hukum Indonesia, pemberian atau penerimaan fee proyek termasuk dalam kategori gratifikasi yang dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
---
Perspektif Islam: Amanah dan Larangan Suap
Islam menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, bukan alat mencari keuntungan pribadi. Nabi ﷺ bersabda:
«إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran (kiamat).”
(HR. al-Bukhari, no. 6496) [^1]»
Amanah yang dimaksud termasuk kewenangan seorang kepala daerah dalam mengelola proyek dan anggaran publik. Meminta fee proyek berarti menyalahgunakan amanah untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh, Islam mengharamkan segala bentuk suap (risywah). Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.”
(HR. Abu Dawud, no. 3580; at-Tirmidzi, no. 1337) [^2]»
Dalam riwayat lain, juga disebutkan:
«مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Barang siapa kami angkat menjadi pejabat atas suatu pekerjaan dan kami telah memberinya gaji, maka apa pun yang ia ambil di luar itu adalah pengkhianatan (ghulul).”
(HR. Abu Dawud, no. 2943; Ahmad, no. 17381) [^3]»
Dengan demikian, fee proyek yang diterima oleh kepala daerah termasuk ghulul — pengkhianatan terhadap amanah publik — dan termasuk dosa besar.
---
Pandangan Ulama
Menurut Imam an-Nawawi, suap (risywah) adalah haram baik bagi pemberi maupun penerima, karena mengandung unsur mengambil hak yang bukan miliknya dengan cara batil. Ia menulis:
«الرشوة حرام بإجماع العلماء
“Suap adalah haram menurut ijma’ para ulama.”
(Al-Majmū‘, 9/213) [^4]»
Syaikh Abdurrahman as-Sa‘di menjelaskan bahwa risywah adalah bentuk kezaliman karena menukar hukum dan kebenaran dengan harta. (Tafsīr as-Sa‘di, QS. al-Baqarah: 188). Ini sejalan dengan firman Allah:
«وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. al-Baqarah [2]: 188) [^5]»
Ayat ini menjadi dasar hukum pengharaman suap, korupsi, dan segala bentuk fee yang tidak sah.
---
Perspektif Hukum Republik Indonesia
Dalam hukum positif, praktik meminta fee proyek dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan:
- Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001:
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaannya, diancam pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda maksimal Rp1 miliar. [^6]
- Pasal 5 ayat (2):
Melarang pegawai negeri menerima suap dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan kewenangan jabatan. [^7]
- Pasal 12B ayat (1):
Gratifikasi dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas pejabat publik. [^8]
Dengan demikian, baik dalam syariat Islam maupun hukum negara, meminta fee proyek adalah bentuk korupsi dan suap yang dilarang keras.
---
Pandangan Pakar Hukum dan Etika Pemerintahan
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, menyebut bahwa fee proyek merupakan modus klasik korupsi jabatan. Menurutnya, “tidak ada istilah legal untuk fee proyek dalam konteks pemerintahan, sebab semua uang di luar ketentuan gaji dan tunjangan adalah gratifikasi.” [^9]
Sementara pakar etik pemerintahan, Prof. Eko Prasojo, menegaskan bahwa kepala daerah seharusnya menjadi pelayan publik, bukan “broker proyek”. Setiap bentuk fee yang diterima pejabat adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. [^10]
---
Kesimpulan
Meminta fee proyek adalah perbuatan haram dalam Islam dan tindak pidana korupsi dalam hukum negara. Kepala daerah yang melakukannya berarti telah:
1. Mengkhianati amanah jabatan.
2. Melakukan ghulul (penggelapan hak publik).
3. Melanggar hukum syariat dan undang-undang.
Islam memerintahkan pejabat untuk bekerja dengan niat ibadah, bukan mencari keuntungan pribadi. Jabatan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri. Rasulullah ﷺ bersabda:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Pemimpin adalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”
(HR. al-Bukhari, no. 893; Muslim, no. 1829) [^11]»
Catatan penting bagi pelakunya adalah bertaubat dan mengembalikan uang tersebut kepada yang bersangkutan. Jika uang tersebut tidak dikembalikan maka taubatnya sia-sia.
---
Daftar Pustaka / Catatan Kaki
[^1]: Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 6496.
[^2]: Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 3580; at-Tirmidzi, no. 1337.
[^3]: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 17381.
[^4]: Imam an-Nawawi, Al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab, 9/213.
[^5]: Al-Qur’an, Surat al-Baqarah ayat 188.
[^6]: Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[^7]: Ibid., Pasal 5 ayat (2).
[^8]: Ibid., Pasal 12B ayat (1).
[^9]: Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum di Indonesia, UI Press, 2018.
[^10]: Eko Prasojo, Etika Kepemimpinan dan Tata Kelola Pemerintahan, UI Publishing, 2020.
[^11]: Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 893; Muslim, no. 1829.
---


Posting Komentar