Ayah Kecanduan Domino & “Jepit Telinga”: Istri dan Anak Menanggung Aib



Ayah Kecanduan Domino & “Jepit Telinga”: Istri dan Anak Menanggung Aib

Versi Ilmiah – Buletin Dakwah Kontemporer

Pendahuluan

Fenomena “domino jepit telinga”—yakni permainan domino yang disertai hukuman memalukan di depan umum—semakin marak di berbagai daerah. Ketika pelakunya adalah ayah, maka dampaknya tidak berhenti pada dirinya: istri dan anak turut menanggung aib. Dalam perspektif dakwah kontemporer, fenomena ini merupakan masalah serius karena berkaitan dengan martabat keluarga, psikologi anak, dan tanggung jawab kepemimpinan dalam Islam.[1]


1. Dimensi Sosial: Ketika Hiburan Berubah Menjadi Aib

a. Stigma dan Hilangnya Wibawa

Masyarakat menilai tindakan memalukan di tempat umum sebagai perilaku tidak pantas, terutama bagi seorang kepala keluarga. Akibatnya, stigma negatif melekat bukan hanya pada pelaku, tetapi juga pada istri dan anak-anaknya.[2]

b. Aib Turunan (Courtesy Stigma)

Dalam kajian sosiologi, aib tidak hanya ditanggung pelaku, tetapi juga orang yang terkait dengannya—disebut courtesy stigma.[3] Anak merasa malu di sekolah, istri mendapat gunjingan tetangga, dan keluarga kehilangan kehormatan sosial.


2. Perspektif Psikologi Keluarga

a. Runtuhnya Otoritas Ayah

Ketika anak melihat ayahnya menjalani hukuman memalukan di ruang publik, terjadi penurunan otoritas moral. Figur ayah kehilangan wibawa yang dibutuhkan untuk mendidik anak.[4]

b. Beban Psikologis pada Anak

Anak yang menanggung aib akibat perilaku ayah berpotensi mengalami:

  • menarik diri dari pergaulan,
  • kehilangan kepercayaan diri,
  • rasa malu kronis,
  • gangguan harga diri (self-esteem).[5]

3. Perspektif Syariat: Kehormatan Keluarga Adalah Amanah

Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan keluarga (ḥifẓ al-‘irḍ) sebagai salah satu tujuan syariat.[6]

a. Larangan Merendahkan Martabat Diri

Allah berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak Adam.”
(QS. Al-Isrā’: 70)[7]

Perilaku yang merendahkan diri di depan umum bertentangan dengan nilai kemuliaan ini.

b. Larangan Menimbulkan Bahaya (Ḍarar)

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
(HR. Ibn Mājah)[8]

Ketika hiburan pribadi menyebabkan bahaya psikologis dan sosial bagi keluarga, maka harus dihentikan.

c. Ayah sebagai Pemimpin Keluarga

Hadits Nabi ﷺ:

الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhārī-Muslim)[9]

Ayah wajib menjaga kehormatan agar wibawanya tetap menjadi landasan pendidikan moral anak.


4. Analisis Kontemporer: Mengapa Ayah Terjerumus?

Ada beberapa faktor pemicu:

  1. hiburan cepat sebagai pelarian stres,[10]
  2. lingkungan pergaulan yang tidak edukatif,
  3. lemahnya spiritualitas,
  4. tidak memahami peran ayah dalam Islam,
  5. adrenalin yang muncul dari “ritual hukuman” yang memalukan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kecanduan bukan semata pada dominosnya, tetapi pada komunitas permainan yang mendorong aksi memalukan.


5. Solusi Dakwah Keluarga Kontemporer

a. Mengganti Hiburan dengan Aktivitas Bermartabat

Dorong ayah untuk memilih aktivitas sehat yang tidak menghilangkan martabat: olahraga ringan, hobi produktif, atau permainan keluarga yang positif.

b. Nasihat Hikmah dari Istri

Istri memberi nasihat lembut yang mengingatkan bahwa martabat ayah adalah martabat seluruh keluarga.

c. Mengganti Lingkaran Pergaulan

Keluarkan ayah dari lingkungan yang suka mempermalukan orang, terutama yang suka merekam dan menyebarkan aksi tersebut ke media sosial.

d. Penguatan Spiritualitas

Rutinitas ibadah, dzikir, dan aktivitas masjid membantu mengisi kekosongan mental yang mendorong kebiasaan buruk.

e. Edukasi Publik

Masjid, lembaga dakwah, dan buletin komunitas dapat mengangkat fenomena ini sebagai amar ma’ruf nahi munkar kontemporer, dengan pendekatan edukatif, bukan menghakimi.


Penutup

Ayah yang kecanduan permainan domino dengan hukuman memalukan di ruang publik telah membuka pintu aib bagi istri dan anak-anaknya. Dalam perspektif Islam, menjaga kehormatan keluarga adalah fardhu, dan kepala keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam memeliharanya. Dakwah kontemporer perlu menghadirkan solusi yang lembut, ilmiah, dan relevan agar fenomena ini tidak merusak generasi.


FOOTNOTE

[1] Al-Qaradawi, al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām, 2006.
[2] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2018.
[3] Erving Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity, 1963.
[4] David H. Olson, Family Theory and Assessment, 2000.
[5] Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, 2017.
[6] Al-Shatibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, tentang maqāṣid al-sharī‘ah.
[7] Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Isrā’: 70.
[8] HR. Ibn Mājah No. 2340; dinilai hasan oleh al-Albani.
[9] HR. Bukhārī No. 893; Muslim No. 1829.
[10] Robert S. Feldman, Understanding Psychology, 2016.


DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Qaradawi, Yusuf. al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām. Kairo: Maktabah Wahbah, 2006.
  • Al-Shatibi. al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  • Corey, Gerald. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Boston: Cengage Learning, 2017.
  • Feldman, Robert S. Understanding Psychology. New York: McGraw-Hill, 2016.
  • Goffman, Erving. Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity. New Jersey: Prentice-Hall, 1963.
  • Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Beirut: Dar al-Kutub.
  • Jalaluddin Rahmat. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya, 2018.
  • Olson, David H. Family Theory and Assessment. Minneapolis, 2000.
  • Al-Albani. Silsilah al-Aḥādīts aṣ-Ṣaḥīḥah. Riyadh: Maktabah Ma‘arif.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama