Syariat Tanpa Hakikat adalah Kosong; Hakikat Tanpa Syariat adalah Sesat


 

Syariat Tanpa Hakikat adalah Kosong; Hakikat Tanpa Syariat adalah Sesat

(Tinjauan Ilmiah Tasawuf dan Syariat dalam Islam)


Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, tasawuf dan syariat sering diperdebatkan sebagai dua hal yang berbeda bahkan bertentangan. Padahal, keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Syariat adalah aturan lahiriah yang menuntun perbuatan manusia agar sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan hakikat adalah kesadaran batin yang memurnikan niat dan menumbuhkan kedekatan ruhani dengan Allah.

Ungkapan ulama sufi klasik mengatakan:

"مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ"

“Barang siapa belajar fikih (syariat) tanpa tasawuf, maka ia akan fasik. Barang siapa bertasawuf tanpa fikih, maka ia akan zindik (menyimpang). Dan barang siapa menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai kebenaran.”
— (Imam Malik, dinukil oleh Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyyah)

Ungkapan ini menegaskan bahwa syariat tanpa hakikat akan kosong dari ruh keikhlasan, sedangkan hakikat tanpa syariat akan sesat dari aturan Allah.


Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis

1. Keterpaduan Lahir dan Batin dalam Ibadah

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams [91]: 9–10)

Ayat ini menunjukkan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang merupakan inti hakikat, namun hal itu tidak dapat dicapai tanpa menjalankan syariat.


2. Ketaatan Lahiriah Tidak Bernilai Tanpa Keikhlasan

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907)

Syariat menuntun amal, sementara hakikat menuntun niat. Bila amal tanpa niat yang ikhlas, maka kosonglah maknanya di sisi Allah.


3. Pentingnya Menyembah Allah dengan Ihsan

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR. Muslim no. 8)

Inilah inti hakikat, yakni kesadaran spiritual mendalam dalam menjalankan syariat ibadah. Tanpa kesadaran ihsan ini, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong.


Pandangan Ulama

1. Imam al-Ghazali

Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, beliau menjelaskan:

“Syariat adalah perahu, hakikat adalah lautan. Barang siapa berlayar tanpa perahu, ia akan tenggelam; dan barang siapa memiliki perahu tapi tak berlayar, ia takkan sampai ke tujuan.”

Artinya, syariat adalah sarana menuju hakikat. Tanpa syariat, seseorang akan tersesat dalam lautan hawa nafsu dan bisikan syetan.


2. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Dalam al-Fath ar-Rabbani, beliau berkata:

"كُلُّ طَرِيقٍ لَا يُوَافِقُ الشَّرِيعَةَ فَهُوَ ضَلَالٌ"
“Setiap jalan (spiritual) yang tidak sesuai dengan syariat adalah kesesatan.”

Beliau mengingatkan bahwa pengalaman batin (kasyf, ilham, karamah) tidak boleh bertentangan dengan syariat.


3. Imam Junaid al-Baghdadi

"طَرِيقُنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ"
“Jalan kami (tasawuf) ini terikat dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
(Diriwayatkan oleh Abu Nashr as-Sarraj dalam al-Luma‘)

Artinya, hakikat sejati hanyalah yang berakar pada syariat.


Fenomena Kontemporer

Di era modern, muncul dua kelompok ekstrem:

  1. Formalis syariat, yang hanya mengejar simbol dan hukum lahiriah tanpa penghayatan batin.
  2. Spiritualis bebas, yang mengaku mencari Tuhan tanpa peduli halal-haram dan aturan syariat.

Kedua ekstrem ini sama-sama menyesatkan. Islam menuntut keseimbangan antara lahir dan batin, antara hukum dan cinta, antara perintah dan kesadaran.


Solusi dan Arah Pembinaan

  1. Menghidupkan tasawuf yang berbasis syariat, sebagaimana diajarkan Imam al-Ghazali dan al-Junaid.
  2. Mendidik umat agar memahami hakikat ibadah, bukan sekadar rutinitas.
  3. Menanamkan cinta kepada Allah dan Rasul melalui dzikir, ilmu, dan amal saleh.
  4. Meluruskan paham sufi ekstrem yang menolak syariat dengan alasan “sudah mencapai hakikat”.

Hikmah

  • Syariat tanpa hakikat = kering, mekanis, dan kehilangan rasa penghambaan.
  • Hakikat tanpa syariat = sesat, liar, dan mudah dikendalikan hawa nafsu.
  • Keduanya bersatu menghasilkan Islam yang utuh, mencakup lahir dan batin, amal dan niat, hukum dan cinta.

Penutup

Keseimbangan antara syariat dan hakikat adalah puncak kesempurnaan Islam. Allah memerintahkan manusia beribadah dengan aturan (syariat) sekaligus dengan hati yang ikhlas (hakikat).

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (kematian).”
(QS. al-Hijr [15]: 99)


Daftar Pustaka (ringkas)

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin
  3. Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah
  4. As-Sarraj, al-Luma‘ fi at-Tasawwuf
  5. Abdul Qadir al-Jailani, al-Fath ar-Rabbani
  6. Al-Ghazali, Misykat al-Anwar
  7. Al-Junaid al-Baghdadi, Maqalat ash-Shufiyyah


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama