Salah Memaknai Taubat, Akar Lunturnya Rasa Malu dan Maraknya Korupsi di Indonesia
(Perbandingan Moral antara Islam dan Budaya Malu di Jepang)
Pendahuluan
Korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Ironisnya, sebagian pelaku justru merasa ringan berbuat dosa karena memiliki keyakinan keliru bahwa “taubat menghapus semua dosa, apa pun yang dilakukan.” Kesalahpahaman ini menjadikan taubat sebagai tameng kemunafikan moral, bukan jalan menuju perbaikan diri.
Di sisi lain, Jepang—meski bukan negara Islam—memiliki tingkat korupsi relatif rendah. Salah satu sebabnya adalah budaya malu (羞恥心 / shūchishin) yang kuat. Rasa malu menjadi pagar batin agar seseorang tidak mencoreng nama baik keluarga, institusi, atau bangsa. Fenomena ini menjadi cermin bahwa nilai moral sejati tidak bisa hanya berdasar pada teks, tetapi harus dihayati dalam kesadaran batin.
Salah Makna Taubat dalam Islam
Dalam Islam, taubat memiliki syarat-syarat ketat dan tidak bisa dijadikan alasan pembenaran untuk terus berbuat dosa. Allah ﷻ berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Katakanlah (wahai Muhammad): Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. Az-Zumar [39]: 53)
Ayat ini sering disalahartikan sebagai “jaminan otomatis penghapusan dosa,” padahal taubat sejati menuntut penyesalan yang tulus, berhenti dari dosa, dan tekad tidak mengulanginya lagi. Nabi ﷺ bersabda:
النَّدَمُ تَوْبَةٌ
“Penyesalan itu adalah taubat.”
(HR. Ibnu Mājah no. 4252)
Taubat tanpa penyesalan hanyalah formalitas. Lebih berbahaya lagi bila dijadikan “pintu darurat” setelah menikmati hasil korupsi. Dalam pandangan ulama, taubat seperti ini tidak sah karena pelaku belum benar-benar berhenti dari dosa dan belum menyesal secara jujur.
Budaya Malu di Jepang: Kontrol Moral Tanpa Agama
Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang religius secara verbal, masyarakat Jepang menginternalisasi rasa malu (恥 / haji) sebagai kontrol sosial yang efektif. Dalam etika Jepang, malu adalah hukuman moral yang lebih berat dari pidana hukum. Seorang pejabat yang terbukti curang sering memilih mundur, bahkan ada yang bunuh diri, karena merasa telah mencemarkan kehormatan keluarga dan bangsanya.
Nilai “malu” ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Malu adalah salah satu cabang dari iman.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Jika rasa malu hilang, maka dosa dianggap biasa. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.”
(HR. al-Bukhārī no. 3483)
Budaya malu dalam Islam bukan sekadar sopan santun, tetapi rem spiritual yang menahan manusia dari maksiat. Ketika konsep malu ini hilang dan digantikan oleh “taubat instan”, maka korupsi pun menjadi budaya, bukan lagi pelanggaran moral.
Analisis Ilmiah dan Sosial
- Faktor Kognitif:
Banyak orang memahami taubat sebatas ritual lisan, bukan proses kognitif yang mengubah perilaku. - Faktor Sosial:
Lingkungan permisif terhadap korupsi menormalisasi dosa. - Faktor Psikologis:
Hilangnya rasa malu dan tanggung jawab moral menyebabkan orang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan kehormatan. - Faktor Spiritualitas:
Kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap tindakan (muraqabah) semakin lemah.
Solusi Islamik
- Pendidikan Taubat yang Benar:
Ajarkan bahwa taubat harus disertai restitusi (mengembalikan hak yang dirampas) dan tekad perbaikan diri. - Revitalisasi Rasa Malu:
Malu bukan kelemahan, tetapi kekuatan iman. - Keteladanan Pejabat dan Ulama:
Kepemimpinan yang bersih menularkan moral jujur ke bawah. - Sinergi Hukum dan Moral:
Penegakan hukum harus didukung dengan pendidikan etika publik berbasis iman dan akhlak.
Penutup
Korupsi di Indonesia bukan hanya akibat lemahnya hukum, tetapi karena lunturnya malu dan salah paham terhadap makna taubat. Taubat bukanlah tiket bebas dosa setelah menikmati hasil kejahatan, melainkan awal perjalanan menuju kebersihan hati dan tanggung jawab sosial.
Sebagaimana kata ulama besar Hasan al-Bashri رحمه الله:
التَّوْبَةُ نَدَمٌ بِالْقَلْبِ وَاسْتِغْفَارٌ بِاللِّسَانِ وَتَرْكُ الْجَوَارِحِ وَعَزْمٌ عَلَى أَنْ لَا يَعُودَ
“Taubat adalah penyesalan di hati, istighfar di lisan, berhenti dengan anggota tubuh, dan tekad untuk tidak mengulanginya.”
(Riwayat Ibnul Qayyim dalam Madarij as-Salikin)
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an al-Karim, QS. Az-Zumar [39]: 53.
- Shahih al-Bukhari, no. 3483; Shahih Muslim.
- Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 4252.
- Ibnul Qayyim, Madarij as-Salikin.
- Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Etika dan Akhlak.
- Ruth Benedict, The Chrysanthemum and the Sword, 1946 – Kajian budaya malu di Jepang.


Posting Komentar