Martabat Seorang Pendakwah yang Takut pada Keturunan Palsu Nabi ﷺ

 


Martabat Seorang Pendakwah yang Takut pada Keturunan Palsu Nabi ﷺ

Pendahuluan

Seorang pendakwah sejati adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya’) yang harus menjunjung tinggi keikhlasan, keberanian, dan kebenaran. Namun, dalam realitas dakwah modern, muncul fenomena sebagian pendakwah yang takut atau segan menegur individu atau kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi ﷺ padahal tidak memiliki bukti nasab yang sah. Ketakutan ini dapat menodai martabat dakwah dan menurunkan nilai amar ma’ruf nahi munkar karena kebenaran tunduk kepada status sosial palsu.


Dalil Al-Qur’an dan Hadis

1. Kewajiban Menegakkan Kebenaran Tanpa Takut Siapa Pun

قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ"
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu."
(QS. An-Nisā’: 135)

➡️ Makna: Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran harus ditegakkan meskipun menyangkut kerabat, orang terpandang, atau tokoh yang dihormati. Pendakwah yang takut menyinggung “keturunan palsu Nabi” berarti meninggalkan amanah dakwah.


2. Larangan Mengaku Nasab yang Bukan Miliknya

Rasulullah ﷺ bersabda:

"مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ"
“Barang siapa mengaku kepada selain ayahnya, padahal ia tahu itu bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
(HR. al-Bukhārī no. 6766 dan Muslim no. 63)

➡️ Makna: Mengaku sebagai keturunan Nabi ﷺ tanpa bukti yang sah adalah dosa besar. Pendakwah wajib menjelaskan hal ini dengan hikmah, bukan menutupi karena rasa takut atau pamrih duniawi.


3. Rasulullah ﷺ Tidak Membeda-bedakan Nasab dalam Kebenaran

Rasulullah ﷺ bersabda:

"وَاللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا"
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
(HR. al-Bukhārī no. 3475 dan Muslim no. 1688)

➡️ Makna: Keturunan Nabi ﷺ yang sejati pun tidak kebal terhadap hukum dan kebenaran, apalagi keturunan palsu.


Pandangan Ulama

  1. Imam al-Qurthubi menjelaskan dalam Tafsīr al-Qurthubi (Juz 5, hlm. 251):

    “Menjunjung nasab di atas kebenaran adalah kesesatan. Sebab, kemuliaan bukan pada asal keturunan, tetapi pada ketakwaan dan kejujuran.”

  2. Syaikh Ibn Bāz berkata:

    “Mengaku sebagai keturunan Nabi tanpa bukti yang sah adalah kedustaan besar. Wajib bagi ulama dan pendakwah meluruskannya agar umat tidak tertipu.”
    (Majmū‘ Fatāwā Ibn Bāz, 28/45)

  3. Imam al-Ghazali dalam Ihyā’ ‘Ulūmiddīn (2/340):

    “Pendakwah yang takut kepada penguasa, hartawan, atau nasab keturunan palsu berarti telah jatuh ke dalam penyakit nifaq amal — yakni menimbang kebenaran dengan kepentingan dunia.”


Fenomena dan Contoh

  • Di era digital, banyak tokoh mengaku sebagai sayyid atau habib tanpa bukti nasab yang sah, demi mendapatkan kehormatan, pengaruh sosial, dan keuntungan materi.
  • Pendakwah yang takut menegur karena khawatir kehilangan pengikut atau sponsor, akhirnya mendiamkan kebatilan dan meninggalkan tanggung jawab dakwah.
  • Di media sosial, beberapa pendakwah bahkan mempromosikan “keturunan palsu Nabi” demi popularitas, bukan kebenaran.

Bahaya dan Dampak

  1. Merusak kemurnian nasab Nabi ﷺ yang dijaga oleh Allah melalui keturunan yang sah.
  2. Menyesatkan umat karena masyarakat salah menilai kemuliaan berdasarkan klaim palsu.
  3. Menjatuhkan martabat pendakwah, karena dakwahnya tidak lagi berlandas pada kebenaran, tetapi pada rasa takut dan pamrih.
  4. Munculnya kultus individu, di mana umat lebih memuliakan manusia daripada syariat.

Solusi dan Sikap Seorang Pendakwah

  1. Menegakkan kebenaran dengan ilmu dan hikmah, bukan dengan emosi atau celaan.

    قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
    “Katakanlah: Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas ilmu yang nyata.”
    (QS. Yusuf: 108)

  2. Tabayyun (verifikasi) terhadap setiap klaim keturunan Nabi ﷺ melalui jalur nasab yang diakui lembaga ahli nasab Islam.

  3. Mengutamakan nasihat rahasia sebelum peringatan terbuka, agar tidak menimbulkan fitnah lebih luas.

  4. Menjaga integritas dakwah, tidak mencari ridha manusia, tetapi hanya ridha Allah.

    “Barang siapa mencari ridha Allah meski dimurkai manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan membuat manusia ridha padanya.”
    (HR. Ibn Ḥibbān no. 276)


Hikmah

  • Martabat pendakwah bukan diukur dari siapa yang disenanginya, tetapi dari sejauh mana ia berani menyuarakan kebenaran.
  • Takut kepada manusia, apalagi kepada keturunan palsu Nabi, adalah bentuk penyakit iman yang melemahkan wibawa dakwah.
  • Pendakwah yang jujur dan adil akan dijaga Allah, meski ia ditinggalkan oleh manusia.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Shahih al-Bukhārī, no. 3475, 6766
  3. Shahih Muslim, no. 63, 1688
  4. Al-Qurthubi, Tafsīr al-Qurthubi, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
  5. Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūmiddīn
  6. Ibn Bāz, Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah
  7. Ibn Hibbān, Shahīh Ibn Hibbān
  8. Al-Asqalani, Fath al-Bārī



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama