Bercanda Beristri Banyak dalam Chat Grup: Tinjauan Jiwa dan Akhlak



Bercanda Beristri Banyak dalam Chat Grup: Tinjauan Jiwa dan Akhlak

Pendahuluan

Fenomena bercanda tentang “beristri banyak” di dalam grup percakapan (chat group) menjadi hal yang sering dijumpai, terutama di kalangan laki-laki dewasa. Candaan seperti ini sering dianggap lucu, namun dalam perspektif Islam, psikologi, dan sosiologi, kebiasaan itu mencerminkan kondisi kejiwaan, nilai moral, dan budaya komunikasi yang perlu dikaji lebih dalam.


1. Tinjauan Akhlak dan Agama

Dalam Islam, perkataan seorang mukmin tidak lepas dari tanggung jawab moral dan spiritual. Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
"إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ."
(رواه البخاري)

Artinya:
“Sesungguhnya seseorang kadang berbicara dengan satu kata yang menyebabkan murka Allah tanpa ia sadari, maka ia tergelincir karenanya ke dalam neraka.”
(HR. Bukhari)

Candaan yang berlebihan tentang “beristri banyak” dapat menyinggung kehormatan perempuan, merendahkan nilai pernikahan, dan menumbuhkan normalisasi hawa nafsu. Dalam Islam, pernikahan adalah ibadah, bukan bahan lelucon.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
(الروم: 21)

Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih sayang dan rahmat.”
(QS. Ar-Rūm: 21)

Maka, mencandai pernikahan berarti mencandai sesuatu yang suci dan sakral.


2. Pandangan Ulama tentang Candaan yang Melampaui Batas

Ulama menegaskan bahwa candaan yang menyentuh hal-hal serius seperti nikah, cerai, atau agama tidak boleh diremehkan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
(رواه أبو داود و الترمذي)

Artinya:
“Tiga perkara yang seriusnya dianggap serius dan bercandanya pun dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Bercanda tentang “menambah istri” termasuk dalam wilayah nikah, sehingga bila diucapkan dengan kalimat yang jelas dan disaksikan orang, bisa berakibat hukum syar‘i jika tidak berhati-hati.


3. Tinjauan Psikologi

Menurut psikolog klinis, candaan yang berulang tentang “istri banyak” bisa mengindikasikan beberapa hal:

  • Pelepasan dorongan bawah sadar (unconscious desires) terkait ketertarikan atau ketidakpuasan relasi.
  • Mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) untuk menutupi rasa tidak aman atau ketidakharmonisan rumah tangga.
  • Perilaku konformitas sosial, yakni ikut-ikutan bercanda agar diterima dalam grup.

Dr. H. Ratna Djuwita, psikolog sosial UI, menyebutkan bahwa “candaan yang terus diulang tanpa kesadaran etis akan membentuk kebiasaan berpikir permisif, menumpulkan sensitivitas moral terhadap pasangan.”

Dengan kata lain, bercanda seperti ini bukan sekadar lucu, tapi dapat membentuk sikap permisif terhadap poligami atau ketidaksetiaan, meski tidak disadari.


4. Tinjauan Sosiologis

Dari perspektif sosiologi, fenomena bercanda “beristri banyak” mencerminkan:

  1. Budaya patriarkal yang masih kuat, di mana dominasi laki-laki atas perempuan dianggap lumrah.
  2. Degradasi nilai komunikasi digital, di mana batas etika semakin kabur karena konteks sosial (grup online) dianggap “tidak resmi”.
  3. Simbol status sosial, di mana lelucon tentang banyak istri dianggap mencerminkan “kebanggaan maskulinitas”.

Padahal dalam realitas sosial, hal ini justru memperkuat stereotip negatif terhadap laki-laki, dan bisa memicu keretakan rumah tangga atau konflik gender di masyarakat.


5. Dampak Negatif

  • Merusak citra diri dan kehormatan istri di mata publik.
  • Menumbuhkan benih perselingkuhan emosional.
  • Menurunkan rasa percaya pasangan.
  • Menghilangkan sensitivitas terhadap nilai-nilai moral.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
(رواه البخاري ومسلم)

Artinya:
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seorang suami tidak ingin istrinya disakiti dengan kata-kata, maka hendaklah ia juga menjaga lisannya.


6. Solusi dan Etika Komunikasi Islami

  1. Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa) — menjaga niat dan pikiran dari hal yang menimbulkan syahwat atau fitnah.

  2. Adab berbicara (adab al-kalam) — berkata baik atau diam, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
    (رواه البخاري ومسلم)

    Artinya:
    “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”

  3. Literasi etika digital, yakni menyadari bahwa candaan di dunia maya juga tercatat dan bisa berdampak nyata.

  4. Menumbuhkan komunikasi positif dalam grup — seperti berbagi ilmu, motivasi, atau humor yang mendidik.


7. Hikmah

  • Menjaga kehormatan diri dan keluarga.
  • Menumbuhkan kontrol diri dan rasa malu (ḥayā’).
  • Menjadi ladang tazkiyah dalam kehidupan digital.
  • Menjadikan percakapan sebagai ladang pahala, bukan dosa.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karīm.
  2. Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
  3. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Nikah.
  4. Ratna Djuwita, “Psikologi Relasi Gender dan Komunikasi Humor,” Universitas Indonesia, 2021.
  5. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Bab Adab al-Lisan.
  6. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 2005.
  7. Yusuf al-Qaradawi, Adab al-Hiwar wa al-Hiwar al-Madani, 1996.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama