LEBIH BAIK DIAM DARIPADA BERDEBAT DENGAN ORANG FANATIK GOLONGAN
(Kajian Etika Dialog dalam Perspektif Islam Klasik dan Kontemporer)
Abstrak
Fenomena fanatisme golongan (ta‘aṣṣub ḥizbiyy) di era digital telah menimbulkan banyak perdebatan sia-sia di dunia maya. Artikel ini menguraikan pandangan Islam tentang pentingnya menjaga lisan dan menghindari perdebatan dengan orang yang fanatik, dilengkapi dengan dalil Al-Qur’an dan hadis, pandangan ulama klasik dan kontemporer, contoh fenomena digital, serta dampak dan hikmahnya. Kajian ini menegaskan bahwa diam sering kali lebih mulia dan menenangkan daripada berdebat dengan orang yang keras kepala dan fanatik.
Pendahuluan
Perdebatan merupakan bagian dari dinamika sosial dan intelektual manusia. Namun, dalam Islam, perdebatan yang disertai kesombongan, fanatisme, dan hawa nafsu sangat tercela. Apalagi di era media sosial, banyak perdebatan justru menjauhkan umat dari ukhuwah Islamiyyah. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa meninggalkan debat, meskipun berada di pihak yang benar, adalah tanda kematangan iman.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis
1. Perintah berdialog dengan cara yang baik
وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.”
(QS. An-Naḥl [16]: 125)
Ayat ini menjadi dasar bahwa perdebatan hanya boleh dilakukan untuk menampakkan kebenaran dengan cara yang santun dan penuh hikmah. Bila berubah menjadi debat kusir dan fanatisme, maka harus dihentikan.
2. Anjuran meninggalkan perdebatan
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
“Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia di pihak yang benar.”
(HR. Abu Dawud no. 4800)
Hadis ini menegaskan bahwa menjaga ketenangan hati lebih berharga daripada kemenangan debat.
3. Keutamaan diam dan menjaga lisan
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diam dalam konteks ini bukan tanda kelemahan, melainkan kecerdasan emosional dan spiritual.
4. Kebencian Allah terhadap perdebatan keras kepala
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras kepala dalam berdebat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat Ulama Klasik
🧕 Imam al-Ghazali رحمه الله
Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, beliau menulis:
المراء والجدال يورثان القسوة والضغينة، ويُطفِئان نورَ العلم من القلب.
“Perdebatan dan bantahan menumbuhkan kerasnya hati dan kebencian, serta memadamkan cahaya ilmu dari hati.”
Artinya, perdebatan yang tidak disertai niat mencari kebenaran akan merusak keikhlasan dan menggelapkan hati.
🧔 Ibn Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله
الجدال بالباطل هو من خصال أهل الضلال، وأما الجدال لإظهار الحق فهو من خصال أهل العلم والإيمان.
“Berbantahan dengan cara batil adalah sifat orang sesat, sedangkan debat untuk menampakkan kebenaran adalah sifat orang berilmu dan beriman.”
(I‘lam al-Muwaqqi‘īn, 3/211)
Maka, bila orang yang diajak berdebat hanya ingin membenarkan kelompoknya, tidak ada gunanya diskusi dilanjutkan.
Pendapat Ulama Kontemporer
🌿 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله
“Tidak layak bagi seorang penuntut ilmu untuk berdebat dengan orang yang keras kepala dan fanatik, karena tidak ada manfaatnya selain permusuhan dan kerusakan hati.”
(Syarḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah)
🕋 Syaikh al-Albani رحمه الله
“Tinggalkan debat dengan orang fanatik, karena mereka tidak ingin kebenaran, melainkan pembenaran atas golongannya.”
(Silsilah al-Hudā wan-Nūr, kaset no. 91)
Fenomena Fanatisme dan Debat di Era Digital
Era digital membawa kemudahan dakwah, namun juga membuka ruang bagi debat kusir tanpa adab.
Ciri-ciri fenomena ini antara lain:
- Fanatisme kelompok (ta‘aṣṣub jamā‘ī) – menganggap ormas, ustaz, atau mazhab tertentu paling benar.
- Komentar penuh emosi – bukan hujjah ilmiah, melainkan hinaan.
- Misinformasi agama – potongan video ceramah dijadikan bahan olok-olok.
- Perpecahan di antara umat – karena perdebatan tidak sehat di grup WhatsApp, Facebook, atau TikTok.
Padahal, Islam mengajarkan hikmah dan kelembutan dalam berdakwah, bukan menonjolkan ego golongan.
Dampak Negatif Berdebat dengan Orang Fanatik
- Hilangnya ukhuwah Islamiyyah.
- Lahirnya kebencian dan permusuhan.
- Munculnya kesombongan intelektual.
- Menutup pintu hidayah bagi pihak yang keras kepala.
- Membuang waktu dan energi tanpa manfaat.
- Menjadikan dakwah tampak buruk di mata non-Muslim.
Hikmah dan Pelajaran
- Diam adalah bentuk adab dan kebijaksanaan.
- Menang debat tidak berarti menang di sisi Allah.
- Menjaga lisan merupakan tanda kesempurnaan iman.
- Ketenangan lebih utama daripada kemenangan argumentatif.
- Menghindari debat fanatik menjaga kemurnian ukhuwah Islamiyyah.
Kesimpulan
Berdebat dengan orang fanatik golongan bukanlah amal saleh, karena mereka tidak mencari kebenaran, melainkan pembenaran diri.
Islam memuliakan hikmah, kelembutan, dan kesabaran dalam menyampaikan kebenaran. Maka, diam lebih bijak daripada terlibat dalam debat yang hanya menambah dosa dan permusuhan.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
مَنْ صَمَتَ نَجَا
“Barang siapa diam, maka ia akan selamat.”
(HR. Tirmidzi no. 2501)
Daftar Pustaka (Referensi)
- Al-Qur’an al-Karim.
- Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4800.
- Imam al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.
- Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘īn.
- Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah.
- Syaikh al-Albani, Silsilah al-Hudā wan-Nūr.
- HR. Bukhari dan Muslim, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Posting Komentar