🕌 Dapat Kerja dan Naik Jabatan dengan Menyogok dan Menjilat: Tinjauan Akhlak dan Syariat Islam
Abstrak
Praktik memperoleh pekerjaan atau kenaikan jabatan dengan jalan menyogok (risywah) dan menjilat atasan (mudāhanah, madḥ berlebihan) merupakan bentuk penyimpangan moral yang merusak tatanan sosial dan spiritual. Artikel ini meninjau fenomena tersebut dari perspektif al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama klasik serta kontemporer. Analisis menunjukkan bahwa kedua praktik tersebut termasuk dosa besar karena bertentangan dengan prinsip amanah (الْأَمَانَة), keadilan (الْعَدْل), dan ikhlas (الإِخْلَاص) yang menjadi fondasi etika kerja Islam.
1. Pendahuluan
Fenomena menyogok dan menjilat untuk jabatan semakin marak di era modern, baik di lingkungan birokrasi, politik, maupun korporasi. Praktik ini muncul akibat lemahnya iman, krisis moral, dan sistem rekrutmen yang tidak berbasis amanah. Dalam Islam, pekerjaan dan jabatan bukanlah kemuliaan yang boleh diperoleh dengan segala cara, tetapi amanah yang harus diberikan kepada yang berkompeten dan jujur.
2. Larangan Risywah (Suap) dalam Syariat Islam
2.1. Dalil dari al-Qur’an
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa urusan itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. al-Baqarah [2]: 188)
Menurut Imam al-Qurṭubī, ayat ini melarang segala bentuk pengambilan hak secara batil, termasuk sogokan untuk mendapatkan kekuasaan atau jabatan yang tidak layak (Tafsīr al-Qurṭubī, Juz 2, h. 348).
2.2. Dalil dari Hadis
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap.”
(HR. Abu Dāwūd, no. 3580; at-Tirmidzī, no. 1337)
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَالرَّائِشَ بَيْنَهُمَا
“Dan (juga) perantara di antara keduanya.”
(HR. Ahmad, no. 6791)
Imam an-Nawawī menegaskan bahwa laknat menunjukkan dosa besar (الكبائر), karena risywah menghancurkan keadilan dan menghalalkan yang haram (Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 11, h. 94).
3. Menjilat dan Mencari Ridha Atasan Secara Tidak Jujur
Dalam konteks kepegawaian modern, “menjilat” berarti memuji secara berlebihan atau berpura-pura loyal demi keuntungan pribadi, bukan karena keikhlasan atau penghormatan yang tulus. Dalam literatur Islam, hal ini disebut mudāhanah (التداهن) — kompromi terhadap kebatilan demi kepentingan dunia.
3.1. Dalil Hadis
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’.”
(HR. Ahmad, no. 23630)
Menjilat atasan dengan tujuan duniawi merupakan bentuk riya’ sosial, karena seseorang beramal bukan karena Allah, melainkan demi kedudukan. Dalam hadis lain:
مَنْ وَلَّى رَجُلًا عَلَى عَصَبِيَّةٍ، فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Barangsiapa mengangkat seseorang karena fanatisme (bukan karena kelayakan), maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Ahmad, no. 12528)
4. Pandangan Ulama
- Imam al-Ghazālī menyebut risywah sebagai bentuk makan harta haram yang menghilangkan keberkahan rezeki dan menjerumuskan pelakunya ke neraka. (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz 2, Bab Āfāt al-Lisān).
- Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan komoditas politik. “Barangsiapa memperoleh jabatan dengan uang atau pujian palsu, maka dia telah berkhianat terhadap Allah dan kaum Muslimin.” (As-Siyāsah asy-Syar‘iyyah, h. 29).
- Yūsuf al-Qaradhāwī menilai bahwa suap dan menjilat termasuk penyakit struktural dalam sistem pemerintahan modern yang menghambat lahirnya pemimpin yang adil dan profesional (al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, h. 341).
5. Dampak Moral dan Sosial
| Aspek | Dampak Negatif |
|---|---|
| Spiritual | Menghapus keberkahan jabatan dan menjauhkan dari rahmat Allah |
| Etika Sosial | Merusak keadilan dan kepercayaan publik terhadap lembaga |
| Ekonomi | Mendorong korupsi dan budaya “balik modal” setelah menjabat |
| Psikologis | Melahirkan rasa bersalah, kemunafikan, dan hilangnya integritas diri |
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya kehancuran.”
(HR. Bukhari, no. 6496)
6. Solusi dan Rehabilitasi Moral
- Tobat Nasūhā — menghentikan segala bentuk sogokan dan permintaan jabatan, serta mengembalikan hak yang dirampas.
- Menegakkan sistem meritokrasi — jabatan diberikan kepada yang kompeten (qawiyy) dan amanah (amīn) sebagaimana dalam QS. al-Qaṣaṣ [28]: 26:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah yang kuat lagi amanah.” - Mendidik etika kerja Islami — melalui teladan pemimpin yang jujur, transparansi rekrutmen, dan pengawasan publik.
- Menghidupkan budaya ihsan dan ikhlas — bahwa bekerja adalah ibadah, bukan sekadar sarana mencari kedudukan.
7. Hikmah
- Jabatan adalah ujian, bukan kebanggaan.
- Risywah dan menjilat mungkin memberi keuntungan duniawi sesaat, tetapi menghancurkan harga diri dan keberkahan hidup.
- Meninggalkan sogokan dan pujian palsu adalah tanda ketakwaan dan kekuatan iman.
8. Kesimpulan
Islam menegaskan bahwa mendapatkan jabatan dengan cara menyogok atau menjilat adalah bentuk khianat terhadap amanah. Praktik ini tidak hanya dilarang secara hukum syar’i, tetapi juga bertentangan dengan nilai etika, sosial, dan profesional. Dalam konteks pembangunan bangsa, pembersihan sistem dari budaya sogok dan menjilat merupakan syarat mutlak untuk melahirkan masyarakat adil, bersih, dan berintegritas.
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an al-Karīm
- Abu Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
- at-Tirmidzī, Sunan at-Tirmidzī
- Ahmad bin Ḥanbal, Musnad Ahmad
- al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
- an-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim
- al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn
- Ibnu Taimiyyah, as-Siyāsah asy-Syar‘iyyah fī Iṣlāḥ ar-Rā‘ī wa ar-Ra‘iyyah
- Yūsuf al-Qaradhāwī, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām
- M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung.


Posting Komentar