BERDEBAT LEBIH BAIK DARIPADA DIAM, DIAM LEBIH BAIK DARIPADA BERDEBAT: Perspektif Prioritas
Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial dan dakwah, sering muncul dilema: kapan sebaiknya berbicara, dan kapan sebaiknya diam? Sebagian orang berpendapat bahwa berdebat untuk menegakkan kebenaran adalah amal mulia. Namun, sebagian lainnya menilai bahwa diam lebih baik daripada berdebat yang menimbulkan permusuhan.
Islam mengajarkan keseimbangan dan prioritas — bahwa setiap keadaan memiliki hukum yang berbeda sesuai dengan maqāṣid (tujuan syariat) dan maslahat (kemanfaatan).
Dalil Al-Qur’an dan Hadis
1. Perintah Berdakwah dengan Hikmah dan Dialog Baik
قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى:
اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik."
(QS. An-Naḥl [16]: 125)
Ayat ini menunjukkan berdebat bisa menjadi ibadah bila dilakukan dengan hikmah (bijak) dan ahsan (cara terbaik).
2. Larangan Berdebat yang Mempicu Permusuhan
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ
"Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapat petunjuk kecuali mereka gemar berdebat."
(HR. At-Tirmiżī, no. 3253)
Hadis ini menegaskan bahwa debat yang tidak berdasarkan ilmu dan niat ikhlas justru menjadi sebab kesesatan dan kehancuran ukhuwah.
3. Keutamaan Diam
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. al-Bukhārī, no. 6018; Muslim, no. 47)
Diam menjadi lebih utama ketika ucapan tidak membawa manfaat. Inilah prinsip “al-ṣamt ‘an ghayri ḥaqqin khayrun min al-jidāl bi ghayri ‘ilm” (diam dari hal yang tidak benar lebih baik daripada berdebat tanpa ilmu).
Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer
1. Ulama Klasik
- Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menegaskan bahwa debat dibolehkan bila bertujuan mencari kebenaran, bukan kemenangan. Namun, jika debat menjadi sarana mempertontonkan ego, maka hukumnya makruh bahkan haram.
- Ibn Taimiyyah berkata dalam Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa an-Naql: “Al-jidāl bi-l-latī hiya aḥsan itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi bid‘ah bagi orang yang menjadikannya sarana untuk berkuasa atas manusia.”
2. Ulama Kontemporer
- Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan: “Berdebat terkadang wajib, terkadang haram, terkadang sunnah — tergantung niat dan akibatnya.”
- Yusuf al-Qaradawi menyebut dalam Adab al-Hiwār: “Diam itu adab, debat itu alat; keduanya harus pada tempatnya. Kebenaran bisa hilang jika alat dipakai tanpa adab.”
Contoh dan Fenomena di Era Digital
Di era digital, ruang debat berpindah ke media sosial. Banyak “perdebatan” yang sejatinya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan:
- Ajang pembuktian diri (ego)
- Pertikaian antar kelompok
- Penyebaran ujaran kebencian dan fitnah
Misalnya, perdebatan teologis di kolom komentar sering berujung pada saling caci, bukan pencerahan. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الْخَصِمُ
"Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras kepala dalam berdebat."
(HR. al-Bukhārī, no. 2457)
Solusi dan Prioritas
- Kenali niat sebelum berbicara – Apakah untuk mencari kebenaran atau hanya kemenangan.
- Gunakan adab dalam berdebat – Jangan meninggikan suara, jangan menghina, jangan mendebat tanpa ilmu.
- Utamakan diam bila manfaatnya kecil – Jika debat tidak menambah ilmu, lebih baik menahan diri.
- Gunakan media digital secara bijak – Utamakan dakwah edukatif daripada konfrontatif.
- Terapkan konsep “Fiqh al-Awlawiyyāt” (Fiqh Prioritas) – Pilih antara berbicara atau diam sesuai nilai maslahat dan mafsadah.
Hikmah
- Berdebat dengan niat baik dapat meluruskan kesalahan dan menegakkan kebenaran.
- Diam di saat emosi memuncak dapat menjaga kehormatan dan ukhuwah.
- Kedua sikap tersebut saling melengkapi — ibarat pedang dan sarungnya; keduanya berguna pada waktunya.
- Orang bijak bukan yang selalu berbicara, tetapi yang tahu kapan berbicara dan kapan berhenti.
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an al-Karim
- Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
- Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim
- At-Tirmiżī, Sunan at-Tirmiżī
- Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn
- Ibn Taimiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa an-Naql
- Yusuf al-Qaradawi, Adab al-Hiwār wa al-Iktilāf fī al-Islām
- Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Sālikīn
- Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarḥ Riyāḍ ash-Ṣāliḥīn
- Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat
Batam, 23 Oktober 2025


Posting Komentar