Selamat Hari Ibu: Menghormati Ibu dalam Timbangan Ilmu, Iman, dan Akal Sehat



Selamat Hari Ibu: Menghormati Ibu dalam Timbangan Ilmu, Iman, dan Akal Sehat

Pendahuluan

Peringatan Hari Ibu bukan sekadar seremoni sosial atau budaya. Dalam Islam, penghormatan kepada ibu memiliki landasan akidah, syariat, dan akhlak yang sangat kuat. Bahkan, kemuliaan ibu ditegaskan langsung oleh Al-Qur’an dan Sunnah, jauh sebelum konsep “Hari Ibu” dikenal secara modern.

Karena itu, seorang Muslim yang berilmu tidak menolak penghormatan kepada ibu, tetapi meluruskannya agar tidak keluar dari koridor tauhid dan syariat.


Ibu dalam Al-Qur’an: Pengorbanan yang Diabadikan

Allah ﷻ menyebut pengorbanan ibu secara khusus, bahkan berulang kali:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ

“Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah…”
(QS. Luqman: 14)

Ayat ini menegaskan bahwa ibu memiliki beban biologis, psikologis, dan sosial yang tidak dapat disamakan dengan pihak lain.


Hadis Tegas: Ibu Didahulukan Tiga Kali

Rasulullah ﷺ bersabda ketika ditanya tentang siapa yang paling berhak mendapatkan bakti:

أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوكَ

“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, lalu ayahmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama menjelaskan:

  • Tiga kali ibu bukan simbolik, tetapi penegasan prioritas
  • Ibu menanggung kehamilan, melahirkan, menyusui, dan pengasuhan awal

Imam An-Nawawi رحمه الله menegaskan bahwa hadis ini adalah dalil paling kuat tentang keutamaan ibu dibanding ayah dalam hal birrul walidain.


Hari Ibu: Antara Budaya dan Syariat

Islam tidak menolak tradisi selama tidak mengandung unsur syirik, maksiat, atau tasyabbuh yang tercela. Memberi ucapan “Selamat Hari Ibu”:

  • Boleh, jika dimaknai sebagai doa, penghormatan, dan pengingat tanggung jawab
  • Haram, jika disertai keyakinan ritual khusus, pengkultusan, atau pengabaian kewajiban harian kepada ibu

Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menegaskan bahwa yang tercela bukan hari peringatannya, tetapi kemunafikan sosial: memuliakan ibu setahun sekali, tetapi durhaka sepanjang tahun.


Kritik Ilmiah: Jangan Jadikan Hari Ibu Sebagai Topeng

Fenomena modern menunjukkan:

  • Banyak yang merayakan Hari Ibu dengan kata-kata manis
  • Namun lalai dari nafkah, adab bicara, dan pelayanan nyata

Rasulullah ﷺ bersabda:

رَغِمَ أَنْفُهُ… مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Celaka seseorang… yang mendapati kedua orang tuanya di usia tua, tetapi tidak masuk surga (karena durhaka).”
(HR. Muslim)

Hadis ini adalah tamparan keras bagi mereka yang hanya pandai simbol, tapi miskin amal.


Makna Selamat Hari Ibu dalam Perspektif Tauhid

Ucapan “Selamat Hari Ibu” seharusnya bermakna:

  • Doa agar ibu dirahmati Allah
  • Tekad memperbaiki bakti sepanjang tahun
  • Pengingat bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu, bukan di bawah panggung perayaan

Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata:

“Tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai adab.”


Penutup

Selamat Hari Ibu bukan slogan kosong, tetapi ikrar moral dan spiritual. Islam tidak membutuhkan satu hari untuk memuliakan ibu, karena setiap hari adalah hari berbakti.

Namun jika Hari Ibu dijadikan momentum muhasabah, maka ia menjadi:

  • Sarana dakwah
  • Pengingat amanah
  • Bukti bahwa Islam adalah agama yang paling memuliakan perempuan—terutama seorang ibu

Selamat Hari Ibu
Semoga Allah ﷻ mengampuni dosa-dosanya, memanjangkan umurnya dalam ketaatan, dan menjadikan bakti kita sebab masuk surga.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama