Lucu Tapi Nyata: Dzuriyah Palsu Peduli Bencana Alam, Tapi Tidak Peduli Doktrin Sesat



Lucu Tapi Nyata: Dzuriyah Palsu Peduli Bencana Alam, Tapi Tidak Peduli Doktrin Sesat

Pendahuluan

Ironi zaman ini sungguh mencolok: sebagian dzuriyah palsu tampil paling depan saat bencana alam—menggalang dana, turun ke lokasi, mengusung jargon kemanusiaan—namun bungkam, bahkan alergi ketika kesesatan akidah dan penyimpangan doktrin dibongkar.
Mereka menangis melihat rumah roboh, tetapi tenang melihat tauhid runtuh. Mereka sibuk menyelamatkan jasad, namun membiarkan aqidah umat rusak perlahan. Lucu? Lebih tepatnya tragis dan menipu.


1. Kepedulian Sosial Tanpa Kepedulian Akidah: Amal Kosong Nilai

Islam tidak memisahkan antara rahmah sosial dan keselamatan akidah. Bahkan, menjaga iman lebih utama daripada menjaga harta dan jasad.

Dalil Al-Qur’an

﴿وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ﴾

“Barang siapa yang kufur terhadap iman, maka sungguh gugurlah seluruh amalnya.”
(QS. Al-Mā’idah: 5)

Catatan penting:
Ayat ini menunjukkan bahwa amal lahiriah sebesar apa pun—termasuk bantuan kemanusiaan—tidak bernilai jika dibangun di atas akidah rusak atau pembiaran kesesatan.¹


2. Mengapa Mereka Sensitif pada Bencana, Tapi Alergi pada Pembahasan Sesat?

Karena bencana alam menyentuh emosi, sementara doktrin sesat menuntut akal dan kejujuran ilmiah.
Dzuriyah palsu menjual perasaan, bukan kebenaran.

Rasulullah ﷺ telah mengingatkan:

﴿وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا﴾

“Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa…”
(QS. An-Naḥl: 78)

Ayat ini menjadi dasar bahwa kebenaran harus dibangun dengan ilmu, bukan sekadar empati emosional.


3. Ulama: Bahaya Mendahulukan Amal Sosial tapi Meremehkan Aqidah

Imam Ibn Taimiyyah رحمه الله menegaskan:

**“Kerusakan dalam agama lebih berbahaya daripada kerusakan dunia.”**²

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan:

“Siapa yang membiarkan kesyirikan dan bid’ah atas nama toleransi dan kemanusiaan, maka ia telah mengkhianati risalah.”³

Artinya, diam terhadap kesesatan bukan sikap moderat, tapi bentuk pengkhianatan ilmiah dan dakwah.


4. Peduli Bencana Tapi Membela Penipu Nasab: Kontradiksi Fatal

Lucunya, dzuriyah palsu:

  • Menangis saat gempa 🌋
  • Tapi membela klaim nasab palsu
  • Menolak klarifikasi ilmiah sanad dan sejarah
  • Menyerang ulama yang meluruskan dengan dalih “jangan bikin gaduh”

Padahal Nabi ﷺ bersabda:

﴿مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ﴾

“Barang siapa mengaku kepada selain ayahnya, maka atasnya laknat Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ironi besar:
Mengaku peduli umat, tapi membela pendusta yang dilaknat Nabi ﷺ.


5. Analisis Ilmiah Kontemporer

Para ahli dakwah kontemporer menyebut fenomena ini sebagai:

“Humanitarianism without theology”
(Kemanusiaan tanpa landasan teologi)

Ciri-cirinya:

  1. Anti diskusi akidah
  2. Takut istilah “sesat”
  3. Mengultuskan figur
  4. Mengharamkan kritik ilmiah
  5. Menganggap persatuan lebih penting daripada kebenaran

Padahal persatuan tanpa kebenaran adalah persatuan di atas kebatilan.


Penutup: Lucu di Dunia, Celaka di Akhirat

Peduli bencana itu mulia.
Namun membiarkan doktrin sesat jauh lebih berbahaya.
Islam tidak mengajarkan empati yang membungkam kebenaran.

Bencana alam merusak bangunan,
doktrin sesat meruntuhkan iman.

Dan yang kedua jauh lebih fatal.


Footnote

  1. Tafsir Ibn Katsir, QS. Al-Mā’idah: 5
  2. Ibn Taimiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7
  3. Shalih Al-Fauzan, Al-I‘tiṣām bil Kitāb was Sunnah
  4. HR. Bukhari no. 6766; Muslim no. 63
  5. Yusuf Al-Qaradawi (kritik), Awlawiyyāt al-Ḥarakah al-Islāmiyyah (dikritisi oleh ulama salafi)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama