KARAKTERISTISTIK FIKIH AULAWIYAT (Prioritas)
Versi Ilmiah Kontemporer
Pendahuluan
Salah satu problem besar pemikiran Islam kontemporer adalah ketidakmampuan mengurutkan prioritas (tartīb al-awlawiyyāt). Dalam banyak fenomena, sebagian umat mengencangkan perkara furu‘ tetapi melemahkan perkara ushul; menghidupkan simbol, tetapi mengabaikan substansi. Fikih Aulawiyat hadir untuk menata ulang pemahaman agama berdasarkan nash, maqasid, dan tuntutan realitas modern, sebagaimana dianalisis oleh para ulama kontemporer terutama Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Aulawiyyāt.[1]
1. Berorientasi pada Maqasid al-Syari‘ah
Fikih Aulawiyat berpijak pada kaidah bahwa syariat diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (jalb al-maṣlaḥah) dan mencegah kerusakan (dar’ al-mafsadah).[2] Karena itu, setiap hukum dan tindakan harus dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap maqasid: menjaga agama, jiwa, akal, harta, kehormatan, dan keturunan.[3]
Dalil utama:
﴿يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ﴾ (QS. al-Baqarah: 185).
Ayat ini menjadi rujukan kuat bahwa kemudahan adalah ruh syariat.
2. Mendahulukan Kewajiban daripada Sunnah
Kaedah: الْفَرْضُ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِلَة — kewajiban selalu lebih utama dari sunnah.
Hadis Qudsi:
“وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ”[4]
“Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan.”
Konsep ini mencegah fenomena yang banyak terjadi: mendahulukan amalan sunnah eksternal (pakaian, ritual opsional) tetapi mengabaikan kewajiban pokok seperti shalat, amanah, dan akhlak.
3. Hak Manusia Didahulukan atas Sunnah Ritual
Hak-hak manusia (ḥuqūq al-‘ibād) dikenal sangat agung dalam syariat, hingga bisa menjadi prioritas di atas amalan sunnah.
Hadis: Rasulullah ﷺ tentang wanita yang rajin ibadah sunnah tetapi menyakiti tetangga:
“هِيَ فِي النَّارِ”[5]
“Ia berada di neraka.”
Ini menunjukkan bahwa akhlak sosial lebih utama daripada ritual tambahan.
4. Mengutamakan Maslahat Umum atas Maslahat Individu
Fikih Aulawiyat menegaskan bahwa kemaslahatan publik harus didahulukan daripada kepentingan pribadi, sesuai kaidah besar:
تُقَدَّمُ الْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّة.[6]
Contoh klasik: keputusan Abu Bakar mengumpulkan mushaf setelah banyak penghafal Al-Qur'an wafat pada peperangan Yamamah.
Contemporer: program pendidikan nasional, kesehatan publik, dan stabilitas negara ditempatkan pada prioritas lebih tinggi dari kepentingan kelompok kecil.
5. Membedakan Ushul dan Furu‘
Fikih Aulawiyat menuntut umat untuk memilah antara perkara pokok (ushul) dan cabang (furu‘). Kesalahan memprioritaskan furu‘ sebagai ushul melahirkan sektarianisme dan rigiditas fikih.
Dalil:
﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ﴾ (QS. al-Hajj: 78).
Contoh furu‘ yang sering dibesar-besarkan: tahlil, qunut, bacaan shalat; padahal perkara pokok seperti amanah, anti riba, keadilan sosial justru banyak diabaikan.
6. Menakar Maslahat dan Mudarat
Kaidah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.[7]
Dasar ayat:
﴿وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ﴾ (QS. al-Baqarah: 195).
Aplikasi kontemporer: kebijakan publik (vaksinasi, mitigasi bencana), fatwa sosial, hingga konten dakwah harus dinilai berdasarkan dampak positif-negatifnya.
7. Menentukan Prioritas Berdasarkan Tingkatan Kebutuhan
Syariat mengklasifikasi kebutuhan menjadi:
- Dharuriyat (penyelamat lima maqasid)
- Hajiyat (mengurangi kesulitan)
- Tahsiniyat (penyempurna)
Contoh:
Pengentasan kemiskinan (dharuriyat) lebih prioritas daripada pembangunan arsitektur masjid yang megah (tahsiniyat).
8. Menyatukan Nash dan Realitas (Waqi‘)
Fikih Aulawiyat mensyaratkan keseimbangan antara pemahaman teks dan realitas. Tidak setiap nash diterapkan secara literal tanpa membaca konteks sosial.
Contoh klasik: Umar bin Khattab menangguhkan hudud pada masa paceklik (عام الرمادة).[8]
Contempory: fatwa fintech, ekonomi digital, sistem pemerintahan modern, dan masalah kesehatan global membutuhkan penilaian realitas mendalam.
9. Menjaga Persatuan Umat
Kaidah penting:
الاجتماع رحمة والفرقة عذاب — “Persatuan adalah rahmat, perpecahan adalah azab.”[9]
Dalil:
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ (QS. Ali ‘Imran: 103).
Dalam fikih aulawiyat, menjaga stabilitas umat lebih prioritas daripada memenangkan perbedaan kecil fikih.
10. Memprioritaskan Ilmu atas Amal
Ilmu menjadi fondasi amal. Ibnul Qayyim berkata:
“Ilmu adalah imam bagi amal, dan amal mengikuti ilmu.”[10]
Fikih Aulawiyat memprioritaskan pembangunan literasi agama, pendidikan yang kuat, dan penanaman nilai kritis.
11. Membedakan Hal yang Tetap dan Fleksibel
Dalam syariat, ada yang tsawabit (konstan) seperti aqidah, ibadah pokok, dan akhlak wajib—dan ada mutaghayyirat (variabel) seperti strategi dakwah, tata kelola negara, dan kebijakan publik.
Kesalahan mencampuradukkan keduanya membuat umat kaku di wilayah fleksibel dan longgar pada wilayah prinsip.
12. Menimbang Dampak Jangka Panjang (Fiqh al-Ma’alāt)
Salah satu ciri penting fikih prioritas adalah mempertimbangkan akibat jangka panjang dari suatu tindakan.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syariat memperhitungkan ma’alāt al-af‘āl (konsekuensi tindakan).[11]
Aplikasi kontemporer:
Pendekatan dakwah harus tidak melahirkan ekstremisme, kebijakan publik harus diperhitungkan efek jangka panjangnya, dan konten media harus menjaga stabilitas moral masyarakat.
Penutup
Fikih Aulawiyat adalah fondasi penting untuk membangun peradaban Islam yang cerdas, moderat, dan produktif. Tanpanya, umat akan terus terjebak dalam pertikaian furu‘, simbolisme, dan agenda sektarian. Dengan fikih ini, umat mampu mengaktifkan kembali maqasid syariat, memprioritaskan kepentingan besar, dan bergerak dalam jalur yang relevan bagi tantangan global.
FOOTNOTE AKADEMIK
[1] Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Aulawiyyāt: Dirasah Jadīdah fī Ḍaw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, Cairo: Dar al-Shuruq, 1992.
[2] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
[3] Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London: IIIT, 2008.
[4] HR. Bukhari, no. 6502.
[5] HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad, no. 9675.
[6] Al-Qarafi, al-Furūq, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. 4.
[7] Al-Ghazali, al-Mustashfa fi Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
[8] Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, tentang bab Umar dan paceklik.
[9] Diriwayatkan dalam beberapa atsar sahabat, lihat: al-Darimi, Sunan al-Darimi.
[10] Ibn al-Qayyim, Miftāḥ Dār al-Sa‘ādah.
[11] Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, dalam pembahasan al-Ma’ālāt.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Klasik
- Al-Ghazali. al-Mustashfa fi Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Al-Qarafi. al-Furūq. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Al-Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah. Dar al-Ma‘rifah.
- Ibn Kathir. al-Bidayah wa al-Nihayah.
- Ibn Taymiyyah. Majmū‘ al-Fatāwā.
- Ibn al-Qayyim. Miftāḥ Dār al-Sa‘ādah.
Sumber Kontemporer
- Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. London: IIIT, 2008.
- Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Aulawiyyāt. Cairo: Dar al-Shuruq, 1992.
- Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society.
- Abdullah bin Bayyah. Sina‘at al-Fatwā wa Fiqh al-Aqallīyāt.


Posting Komentar