Jangan Iri pada Orang yang Mendapat Jabatan, Tetapi Irilah pada Orang yang Berbuat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Versi Ilmiah Buletin Dakwah Kontemporer
Pendahuluan
Dalam masyarakat modern, jabatan sering dianggap puncak pencapaian manusia. Struktur sosial, birokrasi, dan budaya politik membentuk persepsi bahwa semakin tinggi seseorang menduduki posisi tertentu, semakin tinggi pula martabatnya. Namun pandangan ini sering kali keliru bila dilihat dari perspektif syariat Islam. Dalam Islam, jabatan adalah amanah, bukan sekadar kehormatan. Dan amanah adalah beban yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Di sisi lain, amal-amal sosial seperti amar ma’ruf nahi mungkar—menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran—sering dianggap aktivitas biasa atau sekadar kerja dakwah yang tidak menarik perhatian publik. Padahal justru amal inilah yang menunjukkan kemuliaan spiritual seseorang dan menjadi standar “derajat mulia” dalam pandangan wahyu.
Karena itu Rasulullah ﷺ dan para ulama sejak dahulu mengajarkan: jangan iri kepada pemilik jabatan, tetapi irilah kepada para pelaku amal kebaikan. Inilah orientasi akhlak Qur’ani yang harus dikembalikan pada umat.
1. Jabatan: Antara Prestise Dunia dan Beban Akhirat
1.1. Jabatan adalah Amanah Berat
Rasulullah ﷺ menegaskan:
إِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ
*“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Dan ia pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan.”*¹
Hadis ini mengguncang persepsi duniawi terhadap jabatan. Ia mengandung dua dimensi:
- Amanah (التكليف): bukan hak istimewa, tetapi kewajiban.
- Hisab dan penyesalan (الحساب والندامة): semakin besar jabatan, semakin besar pertanggungjawaban.
Jabatan dapat mengantarkan seorang pemimpin pada kemuliaan bila adil; tetapi dapat pula menjadi jalan kehancuran bila digunakan untuk kezaliman.
1.2. Jabatan Tidak Menentukan Kemuliaan
Allah SWT menegaskan bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh jabatan:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
*“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”*²
Jabatan adalah variabel sosial.
Takwa adalah variabel ilahiah.
Keduanya tidak selalu sejalan.
1.3. Banyak Jabatan Justru Membinasakan
Ibn Taimiyah menegaskan bahwa “kedzaliman pemimpin” lebih berbahaya daripada kesalahan umum masyarakat. Karena kerusakannya berskala luas. Oleh karena itu jabatan bukanlah sesuatu yang pantas diirikan secara duniawi, karena:
- bisa menghancurkan pemiliknya,
- dan bisa menjadi sebab azab yang berkelanjutan.
2. Iri yang Terpuji: Ghibṭah pada Pelaku Kebaikan
Islam mengenal dua jenis iri:
- Hasad tercela: menginginkan nikmat orang lain hilang.
- Ghibṭah terpuji: ingin seperti orang lain dalam kebaikan tanpa berharap nikmat itu hilang darinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ...
*“Tidak boleh iri kecuali pada dua hal…”*³
Salah satunya adalah:
- orang yang diberi ilmu lalu ia amalkan,
- orang yang diberi harta lalu ia infakkan.
Ini menunjukkan bahwa orientasi “iri” seorang mukmin adalah amal manfaat—bukan jabatan, kekuasaan, atau kekayaan yang tidak berdampak pada ketaatan.
3. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar: Pilar Kemuliaan Umat
3.1. Ayat yang Menjadikan Umat Islam Pemilik Gelar "Terbaik"
Allah SWT berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
*“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”*⁴
Perhatikan bahwa “umat terbaik” disandarkan pada fungsi sosial-moral, bukan kekuasaan politik.
3.2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah Tugas Semua Orang
Rasulullah ﷺ bersabda:
**مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ...**⁵
Hadis ini menunjukkan tiga tingkatan:
- Kekuasaan (tangan) — bagi pemimpin.
- Argumentasi (lisan) — bagi ulama dan da'i.
- Penolakan hati — bagi seluruh mukmin.
Artinya: siapa pun memiliki bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar.
3.3. Pahala Mengalir Tanpa Putus
Para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar mendapat pahala berlipat ganda:
“Barang siapa mengajak kepada kebaikan maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”⁶
Inilah yang membuat amal dakwah lebih tinggi nilainya dibanding jabatan yang sifatnya duniawi.
4. 10 Alasan Mengapa Kita Harus Iri kepada Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
1. Mereka menjaga moral masyarakat.
Tanpa mereka, masyarakat akan hancur perlahan.
2. Pahalanya berlipat ganda.
Setiap orang yang mengikuti nasihatnya menjadi pahala jariyah.
3. Pekerjaan mereka adalah pekerjaan para nabi.
Ibn Qayyim menyebut amar ma’ruf nahi mungkar sebagai “fungsi profetik umat.”
4. Mereka membangun peradaban.
Jabatan membangun struktur. Dakwah membangun nilai.
5. Allah meninggikan derajat mereka.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ⁷
6. Mereka tidak mencari dunia.
Dakwah adalah orientasi akhirat.
7. Mereka mendapatkan perlindungan Allah.
Seseorang yang menjaga agama Allah akan dijaga oleh Allah.⁸
8. Mereka menjadi penyebab tegaknya kebaikan di masyarakat.
9. Mereka menjadi peredam murka Allah atas satu komunitas.
Dalam tafsir disebutkan: “Selama masih ada di antara mereka yang melarang kemungkaran, Allah menahan azab.”
10. Mereka hidup mulia dan wafat dalam kemuliaan.
Nama mereka dikenang sebagai pembawa kebaikan, bukan pemburu jabatan.
5. Mengapa Iri pada Jabatan Justru Bahaya Spiritual?
5.1. Jabatan Menggoda Ego
Ia memunculkan perasaan superior, memunculkan potensi kezhaliman, dan menumpulkan keikhlasan.
5.2. Jabatan Rentan Disalahgunakan
Kekuasan yang tidak dikontrol oleh takwa bisa berubah menjadi kerusakan sosial.
5.3. Jabatan Sifatnya Sementara
Berakhir dengan masa jabatan, digantikan orang lain, dan kadang berujung penyesalan.
5.4. Jabatan Tidak Lebih Tinggi dari Hidayah
Satu tindakan amar ma’ruf nahi mungkar dalam keikhlasan yang benar bisa lebih berat dari jabatan sekabupaten.
Penutup
Seorang mukmin sejati tidak pernah iri pada jabatan, pangkat, atau kedudukan. Sebaliknya, ia iri kepada para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar, para penyebar kebaikan, para penjaga akhlak masyarakat, dan para pembawa cahaya di tengah kegelapan zaman.
Maka tugas kita bukan mengejar kursi, tetapi mengejar peran moral.
Bukan berlomba dalam prestise jabatan, tetapi berlomba dalam amal yang membangun masyarakat.
Inilah karakter umat terbaik, inilah standar kemuliaan Qur’ani.
Catatan Kaki
- HR. Muslim, no. 1825.
- QS. al-Ḥujurāt [49]: 13.
- HR. Bukhari, no. 73.
- QS. Āli ‘Imrān [3]: 110.
- HR. Muslim, no. 49.
- HR. Muslim, no. 2674.
- QS. al-Mujādalah [58]: 11.
- HR. Tirmidzi, no. 2516: “Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu.”
Daftar Referensi
- Al-Qur’an al-Karim
- Al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
- Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim
- Al-Nawawi, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim
- Ibn Taimiyah, al-Ḥisbah fī al-Islām
- Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi‘īn
- Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (kitab amar ma’ruf nahi mungkar)
- Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Daulah
- Wahbah az-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr


Posting Komentar