HUKUM MEMELIHARA ANJING DI KOMPLEK PERUMAHAN DAN KEBUN: PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM NEGARA

 


🕌 HUKUM MEMELIHARA ANJING DI KOMPLEK PERUMAHAN DAN KEBUN: PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM NEGARA

Pendahuluan

Fenomena masyarakat modern yang memelihara anjing di lingkungan perumahan semakin marak, baik untuk alasan keamanan, kesenangan, atau bisnis. Namun, dalam konteks Islam dan hukum negara, persoalan ini perlu ditinjau secara komprehensif agar tidak menimbulkan pertentangan antara hak individu dan ketertiban sosial.


1. Tinjauan Islam tentang Memelihara Anjing

a. Dalil Al-Qur’an

Allah ﷻ berfirman tentang kisah Ashhab al-Kahf yang memiliki anjing penjaga:

وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِٱلْوَصِيدِ
“Dan anjing mereka menjulurkan kedua lengannya di depan pintu gua.”
(QS. Al-Kahf [18]: 18) [^1]

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam tidak secara mutlak melarang keberadaan anjing, selama fungsinya sesuai kebutuhan syar’i, seperti penjagaan.

b. Hadis Nabi ﷺ

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ زَرْعٍ، نُقِصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ
“Barang siapa memelihara anjing selain untuk berburu, menjaga ternak, atau menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang satu qirath.”
(HR. al-Bukhari no. 2322; Muslim no. 1575) [^2]

Hadis ini menjadi dasar hukum bahwa memelihara anjing tanpa alasan syar’i dilarang, sedangkan memelihara anjing untuk fungsi tertentu (berburu, menjaga kebun, atau rumah di tempat rawan bahaya) diperbolehkan.


2. Pandangan Ulama Mazhab

  1. Mazhab Syafi’i
    Imam Nawawi menjelaskan bahwa hukum memelihara anjing tanpa kebutuhan syar’i adalah haram, sedangkan untuk penjagaan kebun atau ternak adalah mubah. [^3]

  2. Mazhab Hanafi
    Memelihara anjing diperbolehkan bila ada manfaat nyata dan tidak mengganggu masyarakat sekitar. [^4]

  3. Mazhab Maliki
    Imam Malik lebih longgar; menurutnya, boleh memelihara anjing untuk tujuan maslahat duniawi selama tidak menimbulkan mudarat. [^5]

  4. Mazhab Hanbali
    Mengharamkan anjing di rumah yang tidak digunakan untuk penjagaan atau berburu, karena malaikat tidak masuk ke rumah yang ada anjing. [^6]


3. Kaidah Fikih yang Relevan

الضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan.” [^7]

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.” [^8]

Artinya, jika memelihara anjing di komplek perumahan menimbulkan ketakutan, gangguan suara, najis, atau konflik sosial, maka sebaiknya dihindari. Namun, bila di kebun terpencil untuk penjagaan dan tidak mengganggu, maka dibolehkan.


4. Pandangan Ulama Kontemporer

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa anjing najis mughallazhah (najis berat), dan pemeliharaannya di area publik yang bercampur dengan umat Islam dapat mengganggu kesucian tempat dan menimbulkan keresahan sosial. Namun, anjing penjaga di kebun, hutan, atau area keamanan diperbolehkan dengan syarat tidak masuk ke area ibadah dan tidak bersentuhan langsung tanpa kebutuhan. [^9]


5. Tinjauan Hukum Negara

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (jo. UU No. 41 Tahun 2014), setiap pemilik hewan wajib:

  • Menjaga agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.
  • Memastikan kesehatan dan keamanan hewan peliharaan. [^10]

Selain itu, Peraturan Daerah (Perda) di beberapa wilayah mengatur larangan membawa atau melepas anjing di ruang publik tanpa kendali, serta kewajiban vaksin rabies.

Jadi, dari sisi hukum positif, memelihara anjing diperbolehkan asalkan memenuhi standar keamanan dan tidak melanggar ketertiban umum.


6. Dampak Sosial dan Etika Lingkungan

Memelihara anjing di komplek yang mayoritas Muslim sering memunculkan:

  • Ketidaknyamanan karena najis dan bau.
  • Potensi konflik antar tetangga.
  • Risiko penyakit zoonosis (seperti rabies).

Sementara di kebun atau area pertanian, anjing justru berfungsi melindungi tanaman dan hewan dari ancaman liar, sehingga memberi manfaat ekonomi dan keamanan.


7. Solusi dan Rekomendasi

  1. Untuk Pemilik Anjing:

    • Batasi area interaksi anjing agar tidak menimbulkan najis di ruang publik.
    • Pastikan vaksinasi lengkap dan tidak dilepas bebas.
    • Jangan memelihara di rumah yang digunakan untuk ibadah.
  2. Untuk Masyarakat dan Pengurus Komplek:

    • Buat aturan internal yang menyeimbangkan hak warga Muslim dan hak pemelihara hewan.
    • Sosialisasi adab memelihara hewan menurut agama dan hukum.
  3. Untuk Pemerintah Daerah:

    • Tegakkan peraturan hewan peliharaan dan sanksi pelanggaran lingkungan.

Kesimpulan

Memelihara anjing dalam Islam diperbolehkan secara terbatas, yaitu untuk keperluan berburu, penjagaan ternak, kebun, atau keamanan, bukan sekadar kesenangan pribadi.
Di sisi lain, hukum negara membolehkannya selama memenuhi standar keselamatan, kesehatan, dan ketertiban umum.
Maka, memelihara anjing di kebun diperbolehkan, sedangkan di komplek perumahan Muslim sebaiknya dihindari demi menghindari mudarat sosial dan menjaga keharmonisan lingkungan.


Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Dhabaih.
  3. Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Musāqah.
  4. Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dar al-Fikr, 2003.
  5. Ibn Qudamah, Al-Mughni, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997.
  6. Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 1985.
  7. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa tentang Najis Anjing dan Penggunaannya, 2019.
  8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo. UU No. 41 Tahun 2014.
  9. Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, Kairo: Dar al-Kutub, 1990.
  10. Departemen Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Binatang dalam Perspektif Al-Qur’an, 2015.

Catatan Kaki

[^1]: QS. Al-Kahf [18]: 18.
[^2]: HR. al-Bukhari no. 2322; Muslim no. 1575.
[^3]: Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 9, hlm. 45.
[^4]: Ibn Abidin, Radd al-Muhtar, juz 5, hlm. 212.
[^5]: Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, hlm. 174.
[^6]: Ibn Qudamah, Al-Mughni, juz 4, hlm. 352.
[^7]: Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hlm. 87.
[^8]: Ibid., hlm. 91.
[^9]: Fatwa MUI No. 3 Tahun 2019 tentang Najis Anjing.
[^10]: UU No. 18 Tahun 2009 jo. UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama