Perhatikanlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat siapa yang mengatakannya
Perkataan hikmah Sayyidina ʿAlī bin Abī Ṭālib رضي الله عنه
🕌 1. Teks Arab dan Terjemahan
🔹 Teks Arab
عَلِيٌّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
🔹 Transliterasi
Unẓur mā qāla wa lā tanẓur man qāla.
🔹 Terjemahan
“Perhatikanlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat siapa yang mengatakannya.”
📚 2. Sumber dan Kedudukan Perkataan Ini
Kalimat hikmah ini berasal dari Sayyidina ʿAlī bin Abī Ṭālib رضي الله عنه, bukan hadits Nabi ﷺ,
tetapi termasuk dalam kalimat hikmah (كَلِمَةُ حِكْمَةٍ) para sahabat yang sangat dikenal.
Disebutkan dalam:
📘 Nahj al-Balāghah, bab al-Ḥikam (no. 327) — karya asy-Syarīf ar-Raḍī
yang mengumpulkan khutbah, surat, dan nasihat-nasihat Sayyidina ʿAlī.
🌿 3. Makna dan Penjelasan
Perkataan ini mengandung pelajaran adab dan prinsip kebenaran universal:
✅ a. Fokus pada isi, bukan pada sosok
Sayyidina ʿAlī mengingatkan bahwa dalam menilai ucapan, kita harus menimbang isi kebenarannya, bukan siapa yang mengatakannya.
Artinya:
Jika ucapan itu benar — meskipun keluar dari orang biasa, lawan, atau orang yang tidak kita sukai — maka terimalah.
Dan jika ucapan itu salah — meskipun diucapkan oleh orang terhormat, ulama, atau tokoh besar — maka tolaklah.
✅ b. Menghindari fanatisme buta
Perkataan ini menolak sikap taklid dan fanatisme pribadi atau golongan.
Kebenaran tidak diukur dengan status sosial, keturunan, atau kedudukan seseorang, tetapi dengan dalil dan bukti.
✅ c. Prinsip obyektivitas dalam ilmu dan kebenaran
Inilah dasar keadilan ilmiah dan moral:
bahwa kebenaran tetap kebenaran, tidak berubah karena siapa yang mengucapkannya.
Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:
ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ
“(Ialah) orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
(QS. Az-Zumar [39]: 18)
⚖️ 4. Kaitannya dengan Kebenaran dalam Perdebatan Tentang Nasab Palsu
Masalah nasab (keturunan), apalagi mengaku keturunan Nabi Muhammad ﷺ secara dusta, adalah persoalan agama dan kehormatan yang sangat sensitif.
Dalam perdebatan tentang nasab palsu, hikmah Sayyidina ʿAlī ini menjadi pedoman penting agar kita objektif dan adil menilai kebenaran, bukan karena siapa yang berbicara.
🔹 a. Jangan menilai berdasarkan status atau kehormatan pribadi
Banyak orang terpengaruh oleh gelar atau klaim keturunan mulia, lalu langsung mempercayainya tanpa bukti.
Padahal, Sayyidina ʿAlī mengajarkan:
“Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakannya.”
Jadi, kebenaran nasab harus berdasarkan bukti yang sahih dan verifikasi yang adil, bukan karena seseorang mengaku atau memiliki penampilan “saleh”.
🔹 b. Kebenaran bukan milik keturunan
Dalam Islam, kemuliaan seseorang bukan pada nasab, tetapi pada ketaqwaan.
Dalilnya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 13)
Maka, seseorang yang benar keturunan Nabi ﷺ pun tidak otomatis mulia jika ia tidak bertakwa.
Apalagi yang mengaku-ngaku tanpa bukti, maka ia berdosa besar.
🔹 c. Perkataan Ali sebagai prinsip mencari kebenaran
Dalam perdebatan tentang nasab palsu, kita harus kembali ke kaidah ini:
Jangan menolak fakta hanya karena disampaikan oleh orang yang tidak populer,
dan jangan menerima klaim hanya karena disampaikan oleh orang yang tampak terhormat.
Kebenaran harus berdiri di atas dalil, silsilah yang valid, dan kejujuran.
📜 Hadits terkait larangan mengaku nasab palsu:
مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Barang siapa mengaku berasal dari ayah yang bukan ayahnya, atau mengaku sebagai budak orang lain padahal bukan, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia.”
(HR. Bukhārī no. 3508, Muslim no. 1370)
Hadits ini menunjukkan besarnya dosa bagi orang yang mengaku nasab palsu, termasuk yang mengaku keturunan Nabi ﷺ tanpa bukti yang sah.
🕊️ 5. Kesimpulan
Aspek | Penjelasan |
---|---|
Perkataan Hikmah | “Unzur ma qola wa la tanzur ila man qola” – “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan siapa yang mengatakannya.” |
Makna Utama | Menilai kebenaran berdasarkan isi, bukan status atau keturunan pembicara. |
Sumber | Nahj al-Balāghah, Hikmah no. 327, dari Sayyidina ʿAlī bin Abī Ṭālib ra. |
Keterkaitan dengan Nasab Palsu | Dalam perdebatan soal keturunan Nabi, kebenaran harus dilihat dari bukti dan dalil, bukan klaim kehormatan atau nasab yang tidak terbukti. |
Prinsip Islam | Kemuliaan bukan pada nasab, tapi pada takwa dan kejujuran. (QS. Al-Ḥujurāt: 13) |
Posting Komentar