PENYADAPAN DALAM ISLAM DAN HUKUM NEGARA: ANTARA LARANGAN TAJASSUS DAN KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

 



PENYADAPAN DALAM ISLAM DAN HUKUM NEGARA: ANTARA LARANGAN TAJASSUS DAN KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR


Pendahuluan

Dalam dunia modern, penyadapan suara dan komunikasi menjadi bagian penting dalam penegakan hukum. Di satu sisi, Islam melarang tajassus (memata-matai urusan pribadi), namun di sisi lain, Islam juga menuntut ditegakkannya keadilan dan keamanan masyarakat.
Bagaimana Islam memandang penyadapan? Apakah hukumnya boleh atau haram? Dan bagaimana kesesuaiannya dengan hukum positif di Indonesia?


1. Larangan Tajassus dalam Islam

Islam menjunjung tinggi kehormatan dan privasi setiap individu. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
(QS. Al-Ḥujurāt: 12)

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu memata-matai, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”

Larangan ini ditujukan agar manusia tidak mencari-cari aib saudaranya, tidak mengintip rahasia pribadi, dan tidak mencemarkan kehormatan seseorang.
Imam al-Qurṭubi dalam Tafsīr al-Qurṭubi (Juz 16, hlm. 333) menegaskan:

“Tajassus dilarang apabila menyangkut urusan pribadi yang tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat.”


2. Pengecualian: Tajassus untuk Kemaslahatan Umum

Islam mengenal kaidah besar:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
“Kondisi darurat membolehkan hal yang terlarang.”

Dan juga:

يُرْتَكَبُ أَخَفُّ الضَّرَرَيْنِ لِدَفْعِ أَعْلَاهُمَا
“Boleh mengambil bahaya yang lebih ringan untuk mencegah bahaya yang lebih besar.”

Maka, jika penyadapan digunakan untuk mencegah kejahatan besar, menyelamatkan jiwa, atau membongkar korupsi dan kezaliman, hal itu diperbolehkan secara syar’i.

Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Daulah menjelaskan:

“Tajassus atas pribadi warga dilarang, namun jika digunakan untuk menjaga keamanan, memberantas kejahatan, dan menegakkan keadilan, maka dibolehkan karena termasuk maslahah ‘ammah.”


3. Contoh dari Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu

Suatu malam, Umar bin Khattab mendengar suara dari sebuah rumah dan mendapati seorang lelaki sedang minum khamar. Ia melompati dinding dan menegur lelaki itu.
Lelaki itu berkata:

“Wahai Amirul Mukminin, aku bermaksiat satu kali, tapi engkau telah melanggar tiga:
Allah berfirman ‘jangan memata-matai’ (QS. Al-Ḥujurāt: 12), engkau telah memata-matai aku.
Allah berfirman ‘datangilah rumah dari pintunya’, engkau melompati dinding.
Dan engkau masuk rumahku tanpa izin.”

Umar pun mengakui kesalahannya dan pergi.

📚 Tafsir al-Qurṭubi, Juz 16 hlm. 333; al-Muwaththa’ Imam Malik.

💡 Pelajaran: Umar melarang memata-matai urusan pribadi, tetapi beliau membolehkan tindakan aparat untuk kepentingan umum.


4. Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer

  1. Ibnu Taimiyyah (Majmu’ al-Fatawa, 28/109):

    “Penguasa boleh mencari tahu rahasia orang yang dicurigai menimbulkan bahaya bagi masyarakat. Itu bukan tajassus yang diharamkan.”

  2. Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumiddin):

    “Tajassus yang dilarang adalah mencari-cari aib orang untuk kesenangan pribadi, bukan untuk menegakkan hukum.”

  3. Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI, 2003):

    “Penyadapan boleh dilakukan oleh pihak berwenang untuk kepentingan keamanan dan keadilan, asalkan tidak disalahgunakan.”


5. Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Hukum Indonesia mengatur penyadapan secara terbatas dan terawasi:

Peraturan Isi Pokok Tujuan
UU No. 19 Tahun 2016 (ITE) Penyadapan hanya boleh oleh aparat berwenang Penegakan hukum
UU No. 17 Tahun 2011 (Intelijen Negara) BIN boleh menyadap demi keamanan nasional Menjaga keamanan negara
UU No. 35 Tahun 2009 (Narkotika) Penyidik boleh menyadap pelaku narkotika Pencegahan kejahatan berat
UU No. 30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 (KPK) KPK berwenang menyadap dalam penyidikan korupsi Penegakan keadilan publik

➡️ Prinsip hukum positif ini sejalan dengan maqāṣid asy-syarī‘ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (ḥifẓ al-māl wa al-nafs wa al-dīn wa al-‘aql wa al-nasl).


6. Syarat-Syarat Penyadapan yang Dibenarkan Syariat

  1. Dilakukan oleh otoritas sah (negara, aparat hukum).
  2. Ada bukti kuat (qarinah) dugaan kejahatan besar.
  3. Tidak untuk kepentingan pribadi/politik.
  4. Hasil penyadapan digunakan semata untuk keadilan.
  5. Kerahasiaan dijaga ketat dan diawasi lembaga hukum.

7. Hikmah dan Penerapan

Penyadapan bukanlah alat untuk mencampuri urusan umat, tetapi sarana menjaga keamanan dan keadilan.
Bila digunakan dengan amanah dan niat ikhlas, maka ia menjadi bentuk nyata dari amar ma’ruf nahi munkar modern.

Sebaliknya, jika disalahgunakan untuk mencemarkan nama baik atau kepentingan politik, maka berubah menjadi zulm (kezaliman) dan dosa besar.


Penutup

Islam menolak tajassus yang merusak privasi, namun membolehkan pengawasan dan penyadapan dalam batas penegakan hukum demi kemaslahatan umat.
Demikian pula hukum negara mengatur penyadapan secara sah untuk tujuan keadilan dan keamanan nasional.

قُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
(QS. At-Taubah: 105)

Artinya:
“Katakanlah: Berbuatlah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”

Semoga aparat penegak hukum senantiasa berpegang pada amanah dan prinsip syariat dalam menjalankan tugasnya, serta menjadikan penyadapan bukan alat kezaliman, melainkan sarana menegakkan keadilan.


Kesimpulan Ringkas

Jenis Penyadapan Hukum Islam Hukum Positif
Penyadapan pribadi Haram Dilarang / Pidana
Penyadapan oleh aparat hukum Mubah / Wajib Diperbolehkan
Penyalahgunaan penyadapan Dosa besar Tindak pidana
Tujuan penyadapan Menegakkan keadilan Penegakan hukum



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama