MENERIMA KEBENARAN DENGAN LAPANG DADA LEBIH MENENTRAMKAN HATI DARIPADA MEMPERTAHANKAN FANATIK BUTA

 


MENERIMA KEBENARAN DENGAN LAPANG DADA LEBIH MENENTRAMKAN HATI DARIPADA MEMPERTAHANKAN FANATIK BUTA


Abstrak

Artikel ini mengkaji pentingnya sikap lapang dada dalam menerima kebenaran dan bahayanya fanatisme buta dalam kehidupan beragama. Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadis, serta pandangan para ulama klasik dan kontemporer, ditemukan bahwa keterbukaan hati terhadap kebenaran merupakan tanda keimanan dan akal sehat, sedangkan fanatik buta menimbulkan kesesatan, perpecahan, dan kegelisahan batin. Artikel ini juga menguraikan fenomena sosial keagamaan masa kini, contoh sejarah, serta solusi praktis menghilangkan sikap fanatik buta.

Kata Kunci: Lapang Dada, Kebenaran, Fanatik Buta, Ketenangan Hati, Sikap Ilmiah


Pendahuluan

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kebenaran (‘al-ḥaqq) dan menolak fanatisme (‘aṣabiyyah). Kebenaran sejati tidak diukur dari siapa yang menyampaikan, tetapi dari dalil dan bukti yang mendasarinya. Fanatisme buta menyebabkan seseorang menolak kebenaran hanya karena tidak sesuai dengan kelompok atau mazhabnya, padahal hati yang lapang menerima kebenaran akan membawa ketenangan dan kemuliaan.


Dalil Al-Qur’an dan Hadis

1. Al-Qur’an

Allah Ta‘ala berfirman:

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“(Ialah) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
(QS. Az-Zumar [39]: 18)

Ayat ini menegaskan bahwa orang berakal adalah mereka yang mau mendengarkan, menimbang, dan mengikuti yang paling benar — bukan yang paling sesuai dengan hawa nafsu atau golongan.


2. Hadis Nabi ﷺ

Rasulullah ﷺ bersabda:

«الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”
(HR. Muslim, no. 91)

Menolak kebenaran adalah bentuk kesombongan hati yang menghalangi seseorang dari ketenangan dan hidayah.


Pandangan Ulama Klasik

1. Imam al-Ghazali (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn)

Beliau berkata:

“Hati yang bersih adalah hati yang tunduk pada kebenaran walau datang dari musuhnya. Sedangkan hati yang keras tidak akan menerima kebenaran meski datang dari orang yang dicintainya.”

Maknanya, kelapangan hati dalam menerima kebenaran adalah tanda kemurnian iman dan kesucian akal.


2. Ibn Qayyim al-Jauziyyah (Madarij as-Salikin)

“Tidak ada sesuatu yang lebih menenangkan hati daripada menerima kebenaran setelah jelas baginya, walaupun bertentangan dengan pendapatnya sebelumnya.”

Menerima kebenaran bukan kelemahan, melainkan bentuk keikhlasan dan kedewasaan spiritual.


Pandangan Ulama Kontemporer

1. Syaikh Yusuf al-Qaradawi

“Fanatisme buta adalah penyakit umat. Islam tidak mengajarkan mengikuti tokoh, tetapi mengikuti dalil. Siapa pun yang menolak kebenaran karena tokohnya, ia telah menjadikan manusia sebagai tandingan Allah.”

2. Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar)

“Kebenaran itu bukan milik kelompok, tapi milik Allah. Menolak kebenaran karena ego golongan adalah mempersekutukan hawa nafsu dengan Tuhan.”


Fenomena Kontemporer

Di era digital, fanatisme buta berkembang dalam bentuk baru: fanatisme digital. Banyak orang menolak pendapat yang benar hanya karena datang dari kelompok berbeda. Contohnya:

  • Pengikut kelompok tertentu menolak fatwa ulama lain meski berdalil kuat.
  • Diskusi keagamaan berubah menjadi ajang hujatan dan klaim kebenaran tunggal.
  • Perbedaan pandangan politik dijadikan alasan untuk menolak ajaran moral yang benar.

Fenomena ini menyebabkan perpecahan, stres sosial, bahkan kebencian antarumat Islam.


Teladan Sejarah

Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah ditegur oleh seorang wanita mengenai batasan mahar. Setelah mendengar dalil dari Al-Qur’an, Umar berkata:

“Wanita itu benar, dan Umar yang salah.”
(Tafsir Ibn Katsir, QS. An-Nisa: 20)

Inilah contoh pemimpin yang lapang dada terhadap kebenaran tanpa gengsi dan fanatisme.


Dampak Negatif Fanatisme Buta

  1. Menutup pintu hidayah dan akal sehat.
  2. Menumbuhkan kebencian dan permusuhan.
  3. Menghilangkan objektivitas ilmiah.
  4. Menjadikan seseorang merasa paling benar.
  5. Menimbulkan kegelisahan dan penyakit hati.

Solusi Menghilangkan Fanatisme Buta

  1. Menuntut ilmu dengan sanad dan dalil yang benar.

    • Agar tidak terjebak pada pendapat tanpa dasar.
  2. Melatih kerendahan hati (tawāḍu‘).

    • Mengakui bahwa manusia bisa salah, dan hanya Allah yang Maha Benar.
  3. Bersikap kritis dan adil.

    • Dengarkan semua pandangan, timbang dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
  4. Berdoa memohon petunjuk.
    Rasulullah ﷺ berdoa:

    اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

    “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.”
    (HR. Ahmad)

  5. Meningkatkan dzikir dan muhasabah diri.

    • Hati yang hidup dengan dzikir lebih mudah menerima kebenaran.

Hikmah

  • Menerima kebenaran mendatangkan ketenangan batin.
  • Menghindarkan diri dari kesombongan dan hawa nafsu.
  • Menumbuhkan ukhuwah dan kasih sayang antar sesama.
  • Membuka jalan menuju hidayah dan keberkahan hidup.

Kesimpulan

Menerima kebenaran dengan lapang dada adalah tanda kebesaran jiwa dan keteguhan iman, sedangkan fanatisme buta adalah penyakit hati yang menjerumuskan ke dalam kesesatan dan perpecahan. Umat Islam hendaknya meneladani para sahabat yang lebih mencintai kebenaran daripada kepentingan kelompok. Dengan demikian, hati akan tenteram, ilmu akan berkembang, dan ukhuwah akan terjaga.


Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 91
  3. Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Beirut: Dār al-Ma‘rifah
  4. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Kairo: Darul Hadits
  5. Yusuf al-Qaradawi, Al-Ijtihad al-Mu‘aṣir, Kairo: Maktabah Wahbah
  6. Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas
  7. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Aẓīm, Beirut: Dar al-Fikr



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama